“Percayalah, perayaan Earth Hour tidak akan bisa menyelamatkan dunia.”
Beberapa hari terakhir kita sering melihat kampanye #EarthHour di berbagai media sosial, mulai dari Facebook, grup Line, dan lain-lain. Earth Hour sendiri merupakan kegiatan global yang dimotori oleh WWF (World Wide Fund for Nature) setiap tahun di bulan Maret untuk meningkatkan kesadaran akan perlunya tindakan serius menghadapi pemanasan global. Kegiatan ini berupa memadamkan lampu yang tidak benar-benar diperlukan selama satu jam.
Earth Hour tahun ini dilakukan pada tanggal 19 Maret pukul 20.30–21.30 di banyak kota dan negara, salah satunya di Indonesia. Di Indonesia sendiri, berbagai kalangan aktif untuk mengkampanyekan kegiatan Earth Hour ini, terutama dari kalangan aktivis pecinta lingkungan, lebih-lebih dari golongan mahasiswa.
Namun sayang, banyak di antara aktivis mahasiswa tersebut gagal paham dengan makna Earth Hour ini, bahwa Earth Hour adalah langkah apik dengan memadamkan lampu selama satu jam yang dapat menghemat energi dan mengurangi dampak pemanasan global, atau singkatnya menyelamatkan dunia. Memang benar dalam kegiatan Earth Hour tersebut ada sejumlah energi yang dihemat, tapi sebenarnya jumlahnya sangat tidak signifikan.
Semakin disayangkan jika aktivitas seremonial dalam rangka Earth Hour justru diisi dengan kegiatan yang sebenarnya berkebalikan dengan semangat hemat energi dan mencegah pemanasan global. Salah satu di antaranya adalah aktivitas seremonial memadamkan lampu, untuk kemudian berkumpul di satu tempat dan menyalakan lilin bersama-sama. By the way, lilin pada dasarnya termasuk bahan bakar fosil, yang jika dinyalakan akan mengemisikan gas karbondioksida dan melepaskan panas jauh lebih banyak daripada penggunaan lampu—terutama jenis lampu hemat energi generasi sekarang. Jadi, jika lampu pada sebuah gedung dimatikan dan kita menyalakan lilin bersama-sama, jatuhnya justru terjadi pemborosan energi dan pengemisian karbondioksida.
Pihak WWF dan panitia Earth Hour sendiri sadar akah hal tersebut, dan menegaskan bahwa kegiatan Earth Hour bukan ditujukan sebagai momen untuk menghemat energi dan mencegah pemanasan global, tetapi lebih ditujukan sebagai bentuk reminder, dan sepatutnya tidak diisi dengan kegiatan seremonial yang bertolak belakang dengannya.
Earth Hour ditujukan sebagai pengingat untuk kita agar peduli dan mau menangani masalah pemanasan global yang semakin hari semakin menjadi-jadi. Saat ini suhu Bumi tercatat telah meningkat sebesar satu derajat celsius setelah revolusi industri 100 tahun terakhir, dan semakin meningkat tajam di tahun-tahun ini. Walaupun kenaikan suhu satu derajat tidak terlalu berpengaruh pada tubuh kita, kenaikan kecil itu merupakan gangguan besar bagi alam. Peningkatan satu derajat celsius telah merubah banyak hal dari alam: mulai dari kekeringan, ketersediaan air bersih dan makanan, pola hujan, dan masih banyak lagi.
Earth Hour tahun ini dilakukan pada tanggal 19 Maret pukul 20.30–21.30 di banyak kota dan negara, salah satunya di Indonesia. Di Indonesia sendiri, berbagai kalangan aktif untuk mengkampanyekan kegiatan Earth Hour ini, terutama dari kalangan aktivis pecinta lingkungan, lebih-lebih dari golongan mahasiswa.
Namun sayang, banyak di antara aktivis mahasiswa tersebut gagal paham dengan makna Earth Hour ini, bahwa Earth Hour adalah langkah apik dengan memadamkan lampu selama satu jam yang dapat menghemat energi dan mengurangi dampak pemanasan global, atau singkatnya menyelamatkan dunia. Memang benar dalam kegiatan Earth Hour tersebut ada sejumlah energi yang dihemat, tapi sebenarnya jumlahnya sangat tidak signifikan.
Semakin disayangkan jika aktivitas seremonial dalam rangka Earth Hour justru diisi dengan kegiatan yang sebenarnya berkebalikan dengan semangat hemat energi dan mencegah pemanasan global. Salah satu di antaranya adalah aktivitas seremonial memadamkan lampu, untuk kemudian berkumpul di satu tempat dan menyalakan lilin bersama-sama. By the way, lilin pada dasarnya termasuk bahan bakar fosil, yang jika dinyalakan akan mengemisikan gas karbondioksida dan melepaskan panas jauh lebih banyak daripada penggunaan lampu—terutama jenis lampu hemat energi generasi sekarang. Jadi, jika lampu pada sebuah gedung dimatikan dan kita menyalakan lilin bersama-sama, jatuhnya justru terjadi pemborosan energi dan pengemisian karbondioksida.
Pihak WWF dan panitia Earth Hour sendiri sadar akah hal tersebut, dan menegaskan bahwa kegiatan Earth Hour bukan ditujukan sebagai momen untuk menghemat energi dan mencegah pemanasan global, tetapi lebih ditujukan sebagai bentuk reminder, dan sepatutnya tidak diisi dengan kegiatan seremonial yang bertolak belakang dengannya.
Earth Hour ditujukan sebagai pengingat untuk kita agar peduli dan mau menangani masalah pemanasan global yang semakin hari semakin menjadi-jadi. Saat ini suhu Bumi tercatat telah meningkat sebesar satu derajat celsius setelah revolusi industri 100 tahun terakhir, dan semakin meningkat tajam di tahun-tahun ini. Walaupun kenaikan suhu satu derajat tidak terlalu berpengaruh pada tubuh kita, kenaikan kecil itu merupakan gangguan besar bagi alam. Peningkatan satu derajat celsius telah merubah banyak hal dari alam: mulai dari kekeringan, ketersediaan air bersih dan makanan, pola hujan, dan masih banyak lagi.
Maka dari itu setelah momen Earth Hour kemarin sudah sepatutnya kita kembali mengingat dan peduli keadaan alam di sekitar kita, daripada sekedar mematikan lampu selama satu jam dan tidak ada yang esensi yang membekas darinya. Earth Hour hendaknya dijadikan kebiasaan, bukan sekedar perayaan.
Salah satu penyumbang terbesar emisi gas karbondioksida di dunia adalah kendaraan bermotor, dan kita semua tahu bahwa hampir semua mahasiswa Undip setiap harinya menggunakan kendaraan bermotor. Maka dari itu, setelah setelah memadamkan lampu selama satu jam, sekarang saatnya untuk langkah nyata setelah Earth Hour, yang dapat dilakukan dengan mengurangi intensitas penggunaan kendaraan bermotor kita ke kampus. Atau yang lebih baik lagi, bagaimana jika kita berinisiatif untuk mengadakan hari tanpa kendaraan bermotor di Undip, sehingga seluruh mahasiswa Undip berjalan kaki menuju kampus? Menurut hemat saya pribadi, itu sangat sulit dilakukan. Namun jika memang bisa diwujudkan, pasti sangat menarik!
*dimuat di kanal Opini LPM Manunggal Undip
0 komentar:
Posting Komentar