Dapat nasehat baik (secara tidak langsung) dari Mas Rif'an Herriyadi di akun facebooknya. Berikut saya salin tulisannya di facebook, semoga bisa diambil manfaatnya (terutama untuk anak rantau):
***
Keluar dari pintu gerbang UB (Universitas Brawijaya) yg di daerah perkampungan kerto2. Ada Om-om badan besar dengan motor Vario turun dan menyilangkan motornya di tengah jalan. Menghampiriku, aku kira mau merampok. Tapi masa merampok kok di daerah ramai seperti ini.
Tanpa berkata apa-apa, orang tersebut langsung melayangkan tinjunya di mukaku. Alhamdulillah, gerakannya mudah dibaca, sehingga saya bisa menangkisnya. Namun kaca sepion saya patah karena tinju yang meleset itu.
Setelah itu orang tersebut memaki-maki saya, yang kurang lebih mungkin gara-gara suara knalpot motor saya. Karena tadi hanya di kecepatan di bawah 20 km/jam, saya rasa saya tidak ugal-ugalan. In addition, jalan kerto yang sempit dan ramai, tidak mungkin saya berkendara dengan kecepatan tinggi. Karena saya yang bersalah, maka saya minta maaf sama orang tsb.
Dari sini saya semakin sadar. Keberadaan saya dan teman-teman puluhan ribu mahasiswa rantauan belum tentu diterima dengan welcome oleh masyarakat. Walaupun mungkin sebagian besar masyarakat senang dengan keberadaan kita untuk alasan-alasan tertentu.
Coba kita pikir, setiap tahun tingkat kemacetan di sini semakin bertambah. Terutama setelah penerimaan mahasiswa baru. Yang pasti polusi, sampah, dan kepadatan penduduk semakin meningkat juga.
Positif thinking-nya, kalau bisa kita berkontribusi lah untuk warga. Kita kan cuma menumpang, masa hanya merepotkan tuan rumah saja. Ya minimal tidak membuang sampah sembarangan. Tidak ugal-ugalan di kota orang.
***
Keluar dari pintu gerbang UB (Universitas Brawijaya) yg di daerah perkampungan kerto2. Ada Om-om badan besar dengan motor Vario turun dan menyilangkan motornya di tengah jalan. Menghampiriku, aku kira mau merampok. Tapi masa merampok kok di daerah ramai seperti ini.
Tanpa berkata apa-apa, orang tersebut langsung melayangkan tinjunya di mukaku. Alhamdulillah, gerakannya mudah dibaca, sehingga saya bisa menangkisnya. Namun kaca sepion saya patah karena tinju yang meleset itu.
Setelah itu orang tersebut memaki-maki saya, yang kurang lebih mungkin gara-gara suara knalpot motor saya. Karena tadi hanya di kecepatan di bawah 20 km/jam, saya rasa saya tidak ugal-ugalan. In addition, jalan kerto yang sempit dan ramai, tidak mungkin saya berkendara dengan kecepatan tinggi. Karena saya yang bersalah, maka saya minta maaf sama orang tsb.
Dari sini saya semakin sadar. Keberadaan saya dan teman-teman puluhan ribu mahasiswa rantauan belum tentu diterima dengan welcome oleh masyarakat. Walaupun mungkin sebagian besar masyarakat senang dengan keberadaan kita untuk alasan-alasan tertentu.
Coba kita pikir, setiap tahun tingkat kemacetan di sini semakin bertambah. Terutama setelah penerimaan mahasiswa baru. Yang pasti polusi, sampah, dan kepadatan penduduk semakin meningkat juga.
Positif thinking-nya, kalau bisa kita berkontribusi lah untuk warga. Kita kan cuma menumpang, masa hanya merepotkan tuan rumah saja. Ya minimal tidak membuang sampah sembarangan. Tidak ugal-ugalan di kota orang.
***
Sepertinya hal itu benar, selain konteks menumbuhkan ekonomi (baca: menambah penghasilan) masyarakat melalui toko-toko, warung makan, dan lain sebagainya, manfaat seorang mahasiswa masih belum terasa. Yang ada, si mahasiswa hanya menambah sampah, kemacetan, dan polusi di lingkungan masyarakat. (Atau mungkin ini hanya perasaaan saya saja?)
0 komentar:
Posting Komentar