Baiklah, ini lanjutan cerita kemarin di Salatiga. Pasti para pembaca sudah menanti cerita ini.
Di hari kedua live in, kelompok di rumah saya bermaksud untuk ikut Pak Marman untuk pergi mengambil rumput di gunung. Maka berangkatlah kami ke gunung, tetapi tertinggal karena saya sholat dan ke kamar mandi dulu. Karena berangkat terlambat itu, saya (juga Alfian dan Mahen) tidak jadi membantu Pak Marman mengambil rumput, tapi cuma jalan naik gunung, Gunung Jati.
Sebelum berjalan jauh, kami mengajak teman-teman rumah sebelah (rumah perempuan) untuk ikut jalan ke gunung. Yang semula bertiga menjadi bersepuluh—termasuk Rosyid, anak kecil rumah sebelah yang sudah sering ke gunung sebagai tour guide dalam perjalanan ini.
Kami naik, perlahan-lahan menapaki jalan setapak, beberapa kali naik tanjakan tajam dan juga jalan licin. Sampai di pertengahan jalan, seleksi alam terjadi, membuat sepuluh orang berubah menjadi lima orang: aku, Alfian, Mahen, Triana, dan Rosyid, sedangkan yang lain lebih memilih pulang.
Dari puncak gunung, empat orang teman yang tinggal di rumah Pak Marman sudah sampai atas, memanggil-manggil untuk ikut naik ke atas gunung.
Untuk lebih jelasnya, ini saya kasih skema gunung yang kami lalui: terdiri dari pemukiman, hutan, kebun dan puncak gunung:
Singkat cerita, kami berlima berjalan naik sampai ke puncak gunung.
Ini pemandangan dari atas gunung:
Kalian melihat semacam awan yang turun ke bawah?
Nah, itu adalah hujan.
Demi melihat hujan itu, kita hendak langsung turun ke gunung.. tapi urung karena pemandangan yang indah, belum pada foto-foto, dan yang pasti hujan itu masih cukup jauh—walaupun bergerak perlahan ke arah kita.
Ini tak kasih satu hasil foto:
Setelah berlama-lama foto, akhirnya rintik gerimis turun. Wah! Kita turun.
Karena adanya rintikan hujan, kita berlari cepat turun ke bawah. Aku yang nggak kuat lari cepat tentu saja ketinggalan, dan lebih memilih jalan santai—tak masalah kalau kehujanan.
Enam orang sudah berjalan cepat sampai kebun—tidak jauh lagi dari Dusun, sementara itu empat masih di belakang, dengan urutan Alfian, aku, Mahen-Triana.
Aku dan Alfian berjalan meninggalkan Mahen dan Triana di belakang, berusaha cepat—walau nggak cepat-cepat amat.
Aku di depan Alfian, mengambil inisiatif jalan, berbelok ke kiri.
Berjalan semakin cepat karena hujan semakin lebat.
Eh.. Eh kok nggak sampai-sampai? Bukannya seharusnya sudah dekat?
“Kayaknya kita salah jalan deh, rul.. harusnya ini tadi ke kanan dulu, baru nanti ke kiri.”
“Oh gitu? Yaudah kita balik lagi aja, belok ke kanan dulu.”
Ternyata jalan yang aku ambil tadi salah, hehe. Kita berdua kembali ke tempat yang benar, lalu berbelok ke kanan.
Hujannya sudah benar-benar lebat. Kita berdua lari, Alfian di depan. Aku juga berusaha lari, tapi kondisi perut yang sedang suduken membuatku kesulitan, belum lagi aku kesandung kecil, yang membuatku tertinggal dari Alfian.
Ah, yaudah lah, aku juga udah tau jalannya kok.. jalan biasa aja.
Aku berjalan pelan saja, membiarkan tubuh terbasahi oleh hujan deras—kapan lagi bisa hujan-hujanan?
Sayangnya aku tidak benar-benar tahu jalan pulang.
Setahuku, seharusnya posisiku sudah tidak jauh lagi dari rumah di Dusun, tetapi ini kok malah nggak sampai-sampai ya… yang terlihat hanya pohon-pohon di hutan yang semakin lebat.
Apa aku salah jalan?
Ah enggak ah, bener lewat jalan ini. Aku memantapkan hati, berjalan biasa.
Sampai akhirnya aku benar-benar sadar kalau aku salah jalan. Jalanan hutan sudah tidak jelas lagi, pohon-pohon seakan tidak ada habisnya. Sebelum aku semakin jauh, aku kembali ke posisi sebelumnya, jalan yang tadi aku masih sama Alfian.
Dalam hati sebenarnya aku mulai sedikit takut… Tersesat di hutan? Yang benar saja.
Namun dengan kondisi tersesat ini aku berusaha berpikir sehat..
Ah, ini masih jam 3 an kok, masih lama sampai nanti malam, pasti nanti bisa ketemu jalan pulang. Oh iya, tadi Mahen dan Triana kan juga di belakangku, siapa tahu nanti ketemu.
Karena Mahen dan Triana tidak lewat-lewat juga, aku mengambil inisiatif kembali naik ke arah kebun dan gunung. Posisi di kebun lebih aman karena terbuka dengan langit, tidak seperti pas di hutan tadi—kemana-mana yang ada pohon tinggi, di sini kondisi mentalku lebih baik.
Aku mencoba melongok, mencari-cari warga yang sedang di kebun, mereka bisa menunjukkan jalan. Tapi percuma, karena sudah tidak ada orang di kebun. Tidak ada pula tanda-tanda Mahen dan Triana yang menurut perhitunganku masih turun dari gunung—dan terlihat dari kebun ini.
Aku memanggil Mahen satu kali.
Sayangnya tak ada jawaban, itu berarti Mahen dan Triana sudah turun dan sampai ke pemukiman saat aku tadi salah jalan sendirian.
Astaghfirullahal adzim...
Aku mulai panik. Bagaimana ini?
Sempat terpikir pula di kepala ini, masak aku nggak bisa keluar dari hutan ini? Aku segera membuang pikiran-pikiran buruk, tiada guna memikirkan kemungkinan buruk untuk saat ini.
Aku termenung di hujan, berdoa dalam hati semoga segera bisa pulang. Mungkin saja ada warga yang lewat, atau mungkin teman yang sudah sampai di rumah sadar kalau aku tersesat dan menyusulku ke sini.
A'udzu bikalimatillahit tammati min syarri ma khalaq
A'udzu bikalimatillahit tammati min syarri ma khalaq
A'udzu bikalimatillahit tammati min syarri ma khalaq
Aku mengucapnya berulang kali, berdoa. Ibuku pernah berpesan untuk membca doa tersebut ketika saat-saat genting. Bismillahirahmanirrahim.. ya allah tolong aku, kondisi yang semakin tegang ini membuatku cukup kacau, untuk kemudian mengucap doa apapun yang terpintas di kepalaku.
Baiklah, aku memutuskan turun kembali, melalui hutan untuk menuju rumah.
Lamat-lamat aku berjalan sambil berdoa, sampai akhirnya sampai di batas jalan benar yang aku ingat. Berpikir dengan segala kemungkinan, ini ke kanan atau ke kiri?
Aku berusaha berpikir waras, mengamati kedua jalan untuk mencari jalan yang lebih lebar—karena yang lebih lebar berarti lebih sering dilewati. Sayangnya gagal, kedua jalan itu tidak jauh beda.
Pakai apa lagi? Mata angin?
Aku mengingat-ingat arah mata angin ke arah pemukiman. Lalu memikirkan cara mengetahui arah mata angin tersebut. Dengan lumut? Aku ingat cerita temanku pecinta alam yang menggunakan lumut untuk mengetahui arah mata angin.. Kalau tidak salah lumut akan tumbuh menghadap ke Barat. Tapi.. Akh!!… Aku bingung.
Baiklah, aku memutuskan turun kembali, melalui hutan untuk menuju rumah.
Lamat-lamat aku berjalan sambil berdoa, sampai akhirnya sampai di batas jalan benar yang aku ingat. Berpikir dengan segala kemungkinan, ini ke kanan atau ke kiri?
Aku berusaha berpikir waras, mengamati kedua jalan untuk mencari jalan yang lebih lebar—karena yang lebih lebar berarti lebih sering dilewati. Sayangnya gagal, kedua jalan itu tidak jauh beda.
Pakai apa lagi? Mata angin?
Aku mengingat-ingat arah mata angin ke arah pemukiman. Lalu memikirkan cara mengetahui arah mata angin tersebut. Dengan lumut? Aku ingat cerita temanku pecinta alam yang menggunakan lumut untuk mengetahui arah mata angin.. Kalau tidak salah lumut akan tumbuh menghadap ke Barat. Tapi.. Akh!!… Aku bingung.
“Irul….!!!”
Aku menoleh karena teriakan itu, mulai sumringah.
“Irul….!!!”
Aku berdiri, lalu menjawab keras.. “Wooi… Aku di sini..”
Aku lalu berjalan berbelok ke kiri, menghampiri Alfian dan Mahen yang hujan-hujanan mencariku. Alhamdulillah…
Singkat cerita aku sudah dapat bantuan dan dapat kembali ke rumah dengan mudah.
Asal kalian tahu saja, jarak antara tempatku barusan (jalan benar yang aku tahu) dengan rumah itu sama sekali tidak jauh, sekitar 500 m. Salahnya, tadi aku mengambil jalan belok ke kanan, sementara yang benar adalah ke kiri. Akhirnya aku bisa dengan mudah sampai ke rumah.
Sampai di dusun, beberapa teman berseru… “Irul ketemu.”
Alhamdulillah, aku tersenyum…
>>> Aku menghitung-hitung berapa lama waktu aku tersesat. Perjalanan dari rumah ke gunung sekitar 30 menit, foto-foto di puncak gunung hampir 20 menit, pulang ke rumah lagi 30 menit, ditambah waktu tersesat. Kami berangkat pukul setengah tiga, dan aku sampai di rumah pukul empat lebih sedikit. Artinya, aku tersesat sekitar 15 menitan… bukan waktu yang lama, tapi itu lho sensasinya… tersesat di hutan? Ah...
Pelajarannya:
- Kalau nggak tahu jalan jangan pura-pura tahu
- Kalau nggak tahu jalan, ikut temennya yang udah tau jalan
*oh iya, satu catatan: jangan dikira Gunung Jati ini setinggi gunung Merbabu dll, kalau kalian melihatnya langsung, sebenarnya ini lebih patut disebut bukit
0 komentar:
Posting Komentar