Mayoritas kita adalah orang-orang yang susah untuk mencapai kondisi khusyu' (dalam sholat atau lainnya). Ada sedikit gangguan saja, sholat kita sudah langsung
ngawang-ngawang nggak jelas arahnya ke mana.
Maka dari itu, kita masih butuh bantuan pernak-pernik tambahan macam kipas angin, badan segar, baju bagus, lingkungan wangi dan sebagainya untuk bisa khusyu' dalam sholat—
lha wong kalaupun kondisi-kondisi itu sudah terpenuhi, kita masih tetep sulit khusyu' kok.
Bagi saya yang susah khusyu' ini, faktor bantuan terpenting dalam mencapai kekhusyu'an adalah posisi: posisi saya dalam sholat berjamaah. Makanya, saya bilang kalo kekhusyu'an saya itu bergantung pada fungsi posisi. Kalau ditulis secara matematis jadinya:
Posisi yang bagaimana? Bukan posisi terdepan, bukan juga posisi paling belakang, walau tidak menutup kemungkinan posisi itu adalah solusinya.
Namun lebih dari itu, posisi ini berkaitan erat dengan sirkulasi udara (baik oleh kipas angin atau lainnya). Saya perlu mencari posisi strategis untuk mencapai aliran udara (dari kipas angin atau lainnya) yang paling efektif: tidak terlalu pelan dan tidak terlalu kencang.
Kalau terlalu pelan (atau malah nggak sama sekali) bisa dipastikan saya akan kegerahan, keringetan, badan lengket-lengket, yang akibatnya kekhusyu'an berkurang.
Begitu juga kalau terlalu kencang, selama sholat itu saya kedinginan, nggak fokus, dan pas sholat selesai saya malah masuk angin.
Kalau dibuat grafik kekhyusu'an sebagai fungsi sirkulasi udara jadinya:
Pembahasan mengenai kekhusyu'an sebagai fungsi posisi (yang selanjutnya menjadi fungsi sirkulasi udara) ini sangat krusial pada saat-saat Ramadhan seperti ini, terkhusus pada saat shalat tarawih berjamaah—yang waktunya lebih lama dibanding sholat lainnya.
Awal-awal Ramadhan pas saya masih di Semarang kemarin, saya ikut sholat tarawih berjamaah di Masjid Kyai Galang Sewu yang posisinya ada di samping kos. Dari pengalaman, saya menemukan kalau posisi ideal untuk sholat tarawih di situ adalah baris paling belakang. Alasannya sederhana,
adem. Dan untuk mencapai posisi itu, saya harus pura-pura (dan sengaja) menerlambatkan diri untuk ke masjid biar dapet tempat belakang—terlepas dari fakta saya terlambat beneran.
Pernah suatu kali pas itu saya datang cukup awal, dan dapat tempat di tengah-tengah. Awal-awal sholat tarawih sih masih normal. Tapi begitu masuk rakaat ke-5 dan seterusnya,
astaghfirullah, gerah banget—kipas angin tak mampu mengatasinya. Secara fisik saya sholat, tapi pikirannya mencari-cari aliran kipas angin. Daripada sholat tarawih ini jadi nggak bener, saya pun keluar dari barisan menuju tempat wudhu, untuk kembali sholat di barisan belakang.
Alhamdulillah, adem.
Lain Semarang, lain rumah.
Sekarang, ketika sholat tarawih di desa saya—di masjid, barisan belakang tidak lagi menjadi posisi ideal untuk kenyamanan sholat saya. Di masjid ini, posisi paling nyaman itu ada di shaf ketiga nomor 1 sampai 4 dari kiri. Alasannya sama, adem, karena pada daerah itu kipasnya cukup stabil: tidak terlalu kencang tidak pula terlalu pelan. Karena kondisi yang seperti itu, saya pun agak
ngotot untuk mendapatkannya. Kalau shaf depannya masih kosong, saya lebih memilih menghindar dulu—daripada harus mengisinya. Baru kalau keadaan mendukung, saya langsung
jenggirat menuju tempat tersebut: shaf ketiga nomor 1 sampai 4 dari kiri.
Tapi..
Walau seluruh kondisi tadi sudah terpenuhi, nyatanya kok saya masih tetap nggak bisa khusyu'
ya..
Ternyata memang kekhusyu'an bukan semata-mata dipengaruhi oleh posisi dan kipas angin. Kalau posisi dan kipas angin sudah pas, tapi orang di samping berbau
kurang sedap, perut laper, mikirin film,
kebelet pipis, imamnya lama, dan sejenisnya
ya susah untuk khusyu'.
Contohnya saya ini, posisi sholat dan kipas angin
sih udah pas, tapi kok pas sholat malah mikirin posting blog kayak gini…
Astaghfirullahal adzim