Rabu, 29 Juni 2016

Balada Buka Puasa Bersama

Yono lamat-lamat menatap makanan di depannya. Nasi, sayur kangkung, dan beberapa gorengan pelengkap. Tak sabaran ia ingin segera menyantapnya, sudah seharian ia menahan rasa lapar di perutnya, puasa.
Konsentrasinya tertuju pada gorengan di depan: tahu bakso dan tempe mendowan. Sejak siang ia sudah memikirkannya, lupakan soal ujian semester yang harus dikerjakannya.
“Heh, sabar...” Suryo menepuk pundak Yono.
Yono terhenyak, kaget.
Raimu iku lho, kayak nggak pernah makan setahun aja. Laper ya?”
“Banget.” Yono menjawab singkat.
Dua menit lagi adzan maghrib. Konsentrasi Suryo mengarah ke tayangan tv di pojokan warteg, sementara Yono kembali mematung menatap tahu bakso dan tempe mendowan di depannya. 

...

Kelanjutannya download di sini.

Selasa, 28 Juni 2016

Kekhusyu'an Sebagai Fungsi Posisi

Mayoritas kita adalah orang-orang yang susah untuk mencapai kondisi khusyu' (dalam sholat atau lainnya). Ada sedikit gangguan saja, sholat kita sudah langsung ngawang-ngawang nggak jelas arahnya ke mana.
Maka dari itu, kita masih butuh bantuan pernak-pernik tambahan macam kipas angin, badan segar, baju bagus, lingkungan wangi dan sebagainya untuk bisa khusyu' dalam sholat—lha wong kalaupun kondisi-kondisi itu sudah terpenuhi, kita masih tetep sulit khusyu' kok.
Bagi saya yang susah khusyu' ini, faktor bantuan terpenting dalam mencapai kekhusyu'an adalah posisi: posisi saya dalam sholat berjamaah. Makanya, saya bilang kalo kekhusyu'an saya itu bergantung pada fungsi posisi. Kalau ditulis secara matematis jadinya:


Posisi yang bagaimana? Bukan posisi terdepan, bukan juga posisi paling belakang, walau tidak menutup kemungkinan posisi itu adalah solusinya.
Namun lebih dari itu, posisi ini berkaitan erat dengan sirkulasi udara (baik oleh kipas angin atau lainnya). Saya perlu mencari posisi strategis untuk mencapai aliran udara (dari kipas angin atau lainnya) yang paling efektif: tidak terlalu pelan dan tidak terlalu kencang.
Kalau terlalu pelan (atau malah nggak sama sekali) bisa dipastikan saya akan kegerahan, keringetan, badan lengket-lengket, yang akibatnya kekhusyu'an berkurang.
Begitu juga kalau terlalu kencang, selama sholat itu saya kedinginan, nggak fokus, dan pas sholat selesai saya malah masuk angin.
Kalau dibuat grafik kekhyusu'an sebagai fungsi sirkulasi udara jadinya:
Pembahasan mengenai kekhusyu'an sebagai fungsi posisi (yang selanjutnya menjadi fungsi sirkulasi udara) ini sangat krusial pada saat-saat Ramadhan seperti ini, terkhusus pada saat shalat tarawih berjamaah—yang waktunya lebih lama dibanding sholat lainnya.
Awal-awal Ramadhan pas saya masih di Semarang kemarin, saya ikut sholat tarawih berjamaah di Masjid Kyai Galang Sewu yang posisinya ada di samping kos. Dari pengalaman, saya menemukan kalau posisi ideal untuk sholat tarawih di situ adalah baris paling belakang. Alasannya sederhana, adem. Dan untuk mencapai posisi itu, saya harus pura-pura (dan sengaja) menerlambatkan diri untuk ke masjid biar dapet tempat belakang—terlepas dari fakta saya terlambat beneran.
Pernah suatu kali pas itu saya datang cukup awal, dan dapat tempat di tengah-tengah. Awal-awal sholat tarawih sih masih normal. Tapi begitu masuk rakaat ke-5 dan seterusnya, astaghfirullah, gerah banget—kipas angin tak mampu mengatasinya. Secara fisik saya sholat, tapi pikirannya mencari-cari aliran kipas angin. Daripada sholat tarawih ini jadi nggak bener, saya pun keluar dari barisan menuju tempat wudhu, untuk kembali sholat di barisan belakang. Alhamdulillah, adem.
Lain Semarang, lain rumah.
Sekarang, ketika sholat tarawih di desa saya—di masjid, barisan belakang tidak lagi menjadi posisi ideal untuk kenyamanan sholat saya. Di masjid ini, posisi paling nyaman itu ada di shaf ketiga nomor 1 sampai 4 dari kiri. Alasannya sama, adem, karena pada daerah itu kipasnya cukup stabil: tidak terlalu kencang tidak pula terlalu pelan. Karena kondisi yang seperti itu, saya pun agak ngotot untuk mendapatkannya. Kalau shaf depannya masih kosong, saya lebih memilih menghindar dulu—daripada harus mengisinya. Baru kalau keadaan mendukung, saya langsung jenggirat menuju tempat tersebut: shaf ketiga nomor 1 sampai 4 dari kiri.
Tapi..
Walau seluruh kondisi tadi sudah terpenuhi, nyatanya kok saya masih tetap nggak bisa khusyu' ya..
Ternyata memang kekhusyu'an bukan semata-mata dipengaruhi oleh posisi dan kipas angin. Kalau posisi dan kipas angin sudah pas, tapi orang di samping berbau kurang sedap, perut laper, mikirin film, kebelet pipis, imamnya lama, dan sejenisnya ya susah untuk khusyu'.
Contohnya saya ini, posisi sholat dan kipas angin sih udah pas, tapi kok pas sholat malah mikirin posting blog kayak gini…
Astaghfirullahal adzim
   

Senin, 27 Juni 2016

Masih Tentang SIA UNDIP

Dari sekian banyak tulisan saya di blog, tulisan yang paling banyak dibaca orang adalah tulisan mengenai SIA (Sistem Informasi Akademik) Undip. Tulisan itu saya buat semester satu lalu, ketika SIA sedang mengalami gangguan—bukan sekedar server down. Saya menulis sedikit tentang gangguan itu, lalu ada pula tips untuk membuka SIA dengan mudah, dan ada trik lain membuka SIA lewat web proxy Anonymouse FSM (Fakultas Sains dan Matematika).
Dan sekarang, ketika mahasiswa sedang aktif-aktifnya mengunjungi SIA—untuk melihat nilai dan mengisi Kartu Rencana Studi (KRS), lagi-lagi topik tentang SIA di blog saya mendapat kenaikan view.
Jan-jan e nggak banyak yang berkunjung ke blog saya, tapi ya itu tadi.. dari nggak banyak orang yang berkunjung itu kebanyakan (hanya) membaca tulisan tentang SIA. Hal itu diperkuat lagi dengan fakta daftar pencarian di google (beberapa waktu lalu) yang mengarah ke blog saya, yang hasilnya pun nggak jauh-jauh dari tema SIA Undip:




Sepertinya SIA Undip membawa kebaikan untuk blog ini, padahal waktu awal saya nulis tentang itu nggak ada sedikit pun pikiran kalau tulisan itu bakal dapet view tinggi.
Seberapa tinggi?


Sebenernya cuma seribuan sih.. tapi dibandingkan dengan tulisan-tulisan lain di blog saya yang cuma dapet 10 view (itupun saya yang buka), angka 1000 itu sangat besar. Sungguh.

***

Alhamdulillah, sampai saat ini web SIA Undip masih sehat wal afiat, dapat diakses dengan lancar dari luar kampus--walaupun yang mengakses banyak. Semoga saja SIA Undip bisa terus sehat sampai ke depannya. Amin.

Sabtu, 25 Juni 2016

Satelit Indonesia dan Komentatornya


Sepertinya bulan Ramadhan kali ini membawa banyak berkah untuk Indonesia. Bagaimana tidak, baru pada Ramadhan kali ini tidak lagi ada acara lawak yang selalu menemani kala sahur dan berbuka, sejalan dengan tidak adanya acara ceramah di pagi, siang dan malam—di tv saya. Ramadhan kali ini tv saya lebih sering mati, sejurus karena saya sudah melek teknologi dan aktif berinternet hampir setahun ini.
Menurut saya, internet menawarkan hiburan yang lebih variatif dibanding tv, ya, walaupun nggak variatif-variatif amat. Toh saat ini internet yang digadang-gadang sebagai wadah citizen journalism masih menunjukkan gelagat kalau ia hanya perpanjangan tangan dari media konvensional yang menyetir arah perbincangan.
Tapi sungguh, saya beruntung karena dengan internet jadi tau kalau di bulan Ramadhan ini ada kabar baik yang sudah saya nanti-nantikan, Indonesia menerbangkan satelit (lagi).
Ada dua satelit Indonesia yang baru saja mengangkasa: BRIsat dan LAPAN A-3.
Tapi eh tapi… dalam dunia modern sekarang, menerbangkan satelit itu udah nggak wah lagi, udah biasa. Lha wong sekarang saja udah perusahaan komersil ruang angkasa macam SpaceX dan Blue Origin yang siap sedia meluncurkan satelit pake roket mereka kok... Kalo duitnya cukup, wush, satelit itu bakal terbang mengangkasa.
Terus apa yang bisa dibanggakan dari penerbangan satelit kali ini? Kalo dari penerbangannya, dengan berat hati sebenarnya belum banyak. BRIsat meluncur numpang roket Ariane 5 di Pelabuhan Angkasa Eropa, sementara LAPAN A-3 meluncur dengan nebeng roket milik India bersama 20 satelit lainnya.
Untungnya urusan satelit itu nggak cuma sesederhana nerban-nerbangin tok. BRIsat misalnya, satelit milik bank yang ada kata Rakyat-nya ini walaupun dibuat oleh Eropa, seenggaknya dia jadi satelit pertama di dunia yang dimiliki oleh institusi keuangan. Keren? Katakanlah begitu.
Terkhusus untuk LAPAN A-3, saya bangga, karena satelit ini dibuat di Bogor. LAPAN A-3 (setelah A-1 dan A-2) ini dibuat atas kerjasama LAPAN dengan IPB. Asal anda tahu ya, buat satelit itu nggak nggak gampang. Nggak perlu saya sebutin teknis-teknis satelit biar kelihatan susah, kan? Oke.
Sekali lagi saya bersyukur karena udah kenal internet, bisa liat peluncuran satelit itu kayak di film-film (belum liat full tapi), walaupun sebenernya saya lebih pengen nonton peluncuran itu di tv. Bagi saya, sensasi nonton tv belum bisa tergantikan oleh nonton video di laptop/hp lewat internet. Tapi kok kayak e nggak ada kabar penyiarannya di tv ya? Apa sebenernya ada tapi saya nggak tau, karena udah jarang nonton tv? Mbuh lah.
Tapi ada satu hal...
Sebagaimana lazimnya internet, selalu tersedia kolom komentar yang membuat sebuah berita menjadi lebih menarik (komentarnya yang menarik), tak terkecuali berita peluncuran satelit ini.
"Loh itu beneran satelit Indonesia, min? Kok tulisan di satelitnya INDIA?" Ada si pembaca judul dan pelihat gambar hebat yang merasa tak perlu membaca isi berita.
"Iya, min, kok tulisannya India?" Ada pula si pembaca komentar, yang tak perlu membaca judul bahkan gambar berita—apalagi isinya.
"Kenapa nggak diterbangin dari Indonesia?" Ada si kritis yang sayangnya malas baca.
"Kapan Indonesia punya roket sendiri?" Ada si kritis yang salah fokus berita.
"Gapapa satelit dulu, itu udah keren. Fokus sama rakyat miskin aja dulu gausah banyak gaya. Toh hutang negara belum selesai juga." Ada pula si bijak yang menengahi perang di kolom komentar.

*** bubar2 

Jumat, 24 Juni 2016

Membersihkan Buku Tak Terpakai dan Rasa "Eman" Bersamanya

Hari ini saya (dan Pae) membersihkan buku-buku tak terpakai yang telah begitu banyak memenuhi lemari dan ruang kamar tidur. Buku-buku itu adalah akumulasi sejak zaman bapak, mbak, mas, dan akhirnya saya—bisa dibayangkan betapa banyaknya. Sebenarnya tidak semua adalah buku, ada juga kertas-kertas dokumen, fotocopy soal, dan sejenisnya—apapun itu, ia sudah tak terpakai.
Ada setitik rasa eman saat hendak membersihkan buku-buku itu, suatu saat akan berguna, pikir saya. Tapi mosok yo, kanggo? Pikir sisi lain saya.
Dari sekian banyak buku yang ada, dominasi utamanya adalah buku pelajaran, mulai dari SD sampai tingkat SMA. Untuk buku jenis ini, ia memang tak banyak berguna, apalagi kan sekarang kurikulumnya sudah ganti, otomatis buku acuan(pelajaran)nya pun baru lagi—membuat buku-buku ini tidak memiliki banyak nilai praktis. Namun tidak semua buku pelajaran ini saya bersihkan, ada beberapa buku yang sengaja saya simpan karena saya mengenal betul buku itu dan mengetahui manfaat praktisnya (bagi saya), terutama jenis buku pelajaran sains yang banyak membantu saya (artinya, buku itu memang benar-benar bagus dari segi penjabaran dan sejenisnya).
Selain buku pelajaran, ada juga buku tulis. Sama seperti buku pelajaran, buku tulis ini juga akumulasi sejak zamannya mbak, mas, sampai punya saya, dan lagi-lagi ada setitik rasa eman ketika hendak membersihkan buku-buku tulis ini. Ini kan bisa jadi kenang-kenangan, pikir saya.
Namun memang, kayaknya buku-buku tulis ini kok tidak banyak punya nilai praktis kecuali untuk sekedar kenangan (ah apalah itu), dan kayaknya juga nggak ada tanda-tanda kalau buku itu akan saya buka lagi suatu saat nanti. Jadinya buku tulis ini saya bersihkan, kecuali beberapa. Beberapa yang tidak saya bersihkan, sama seperti buku pelajaran tadi, karena beberapa buku tulis (terutama buku tulis pas MA) ada yang saya khususkan dari yang lain: ia tak sekedar buku catatan pelajaran, tapi lebih dari itu ia adalah catatan keseharian dan nilai-nilai (value).
Selanjutnya ada juga banyak jenis buku kitab kuning (buku berbahasa arab, biasanya kertasnya kuning, mayoritas isinya tentang keagamaan, digunakan sebagai acuan pembelajaran di pesantren). Untuk buku jenis ini, kami tak merasa perlu untuk membersihkannya—justru menyimpannya. Kenapa? Nah ini yang aneh, jan-jan e kitab kuning itu yo sama saja kayak buku lainnya kok, cuman ia berbahasa arab (itu aja).
Kalau buku pelajaran kan gonta-ganti sesuai kurikulum, kalau kitab kuning itu nggak, salah satu penjelasan kenapa kitab kuning tidak kami bersihkan. Selain itu, kitab kuning itu punya sentuhan dan kesan unik yang membuat kami merasa perlu menyimpannya—walaupun tidak dibaca (mungkin dibaca suatu saat nanti). Kalau buku-buku pelajaran, normalnya seiring bergantinya tahun buku-buku baru yang sejenis akan muncul dan kualitasnya semakin bagus (akses pembeliannya pun mudah), sedangkan kalau kitab kuning—terutama ini jenis kitabnya kan membahas hal-hal dasar—jadinya tidak ada perubahan (kecuali sekedar perbaikan cetakan dan sejenisnya). Toh jumlah kitab kuning ini tidak banyak kok, itu yang menjadi alasan paling masuk akal untuk menyimpannya.

***

Kenapa merasa eman saat hendak membersihkan buku-buku itu (lalu mengelompokkan dan mengikatnya, untuk kemudian dijual)?
Hal yang paling utama adalah saya merasa butuh. Tapi rasa butuh itu hanya sekedar rasa-rasaan aja, bukan butuh beneran. Karena, kalau memang saya butuh beneran, seharusnya saya berinteraksi dengan buku-buku itu (rutin atau setidaknya beberapa kali). Kenyataannya, dari seluruh buku yang hendak dibersihkan, saya tidak pernah berinteraksi lagi pada kira-kira 95% buku itu. Baru ingin berinteraksi ketika buku-buku hendak hilang, lha kan lucu. Itu artinya saya nggak bener-bener butuh.
Hal itu serupa dengan hal yang sering dilakukan oleh para peminjam buku (yang sayangnya malas membacanya—termasuk saya). Ketika seseorang hendak meminjam buku, entah ke teman atau perpustakaan, ia dalam keadaan tertarik, yang kemudian diartikan sebagai rasa butuh-nya kepada buku itu (lalu meminjam). Nah, ke-butuh-an terhadap buku itu dapat dicek benar atau semunya dari interaksi terhadap buku itu setelah dipinjam: buku itu dibaca atau tidak? Karena banyak dari proses peminjaman buku hanya terdiri dari pergi dan kembali (untung masih bisa kembali).
Saya salah satunya, yang pernah beberapa kali meminjam buku (karena merasa butuh), tapi kemudian tidak membacanya. Buku itu hanya saya baca sebentar setelah peminjaman, lalu berhari-hari buku itu terbengkalai begitu saja. Beberapa kali ingin membacanya, tapi kok yo ora kesampaian. Baru ketika batas waktu peminjaman hampir habis—atau bahkan lewat waktunya, saya gelagapan ingin membacanya lagi. Yang demikian itu saya namakan kebutuhan semu.
Dan ternyata yang saya rasakan terhadap buku-buku ini, yang barusan saya bersihkan, adalah kebutuhan semu. Ah sudahlah.
Ini gambar yang saya ambil setelah buku-buku itu selesai dibersihkan:


Tinggal menunggu tukang rosok (pengepul barang rongsokan) untuk mengambil dan menukarnya dengan uang ribuan setiap kilogramnya. Ini bukan tentang menjual buku-buku itu, tapi terima kasih karena tukang rosok mau mengambil (otomatis membersihkan ruang saya) dan mungkin mendaurnya menjadi hal yang bermanfaat lainnya—daripada tidak saya apa-apakan.

Rabu, 15 Juni 2016

Catatan Ujian Open Book


Ujian, dalam artian sempit sebagai Ujian Tengah atau Akhir Semester, memiliki dua garis besar: ujian close book (yang sudah wajar) dan ujian open book (yang sebenarnya juga wajar). Dua garis besar tersebut kemudian diikuti oleh dua garis besar reaksi peserta ujian:
1. Reaksi terhadap ujian close book
Ujian jenis ini relatif lebih sering dilakukan di jenjang pendidikan dasar, menengah, sampai tinggi. Menanggapi ujian jenis ini, kita semua tahu reaksinya, rata-rata peserta akan mati-matian belajar sehari sebelum ujian karena besoknya ia harus menyelesaikan soal yang membutuhkan pemahaman belajarnya sebelumnya. Itu sudah biasa, dengan catatan jangan cuma belajar sehari sebelum ujian saja.
2. Reaksi terhadap ujian open book
Dibanding ujian close book, ujian open book relatif lebih jarang dilakukan, dan biasanya ini ditujukan untuk menguji pelajaran yang terbilang banyak materinya, dan tidak memungkinkan (tidak terlalu penting juga) untuk dihafalkan---tapi ya nggak mesti.
Ketika mengetahui bahwa ujian yang akan dilakukan berjenis open book, rata-rata peserta ujian akan bersuka cita, pasalnya mereka tidak perlu mati-matian belajar sehari (atau semalam) sebelum ujian karena besok bisa buka buku untuk menjawab soal.
Namun, sesederhana itukah?
Sayangnya tidak.
Kenyataannya, bahkan ketika ujian yang dilakukan berjenis open book, para peserta kerap kesulitan menjawab soal. Alasannya jelas: mereka terlalu menganggap enteng dan mengandalkan buku---padahal ia belum pernah membaca bukunya sekalipun. Maka dari itu, walaupun soal yang diujikan (seluruhnya) ada di buku, mereka tetap kesulitan menjawab karena tidak tahu bagian tepat di buku yang sesuai pertanyaan.
Nah!