Hari ini saya (dan Pae) membersihkan buku-buku tak terpakai yang telah begitu banyak memenuhi lemari dan ruang kamar tidur. Buku-buku itu adalah akumulasi sejak zaman bapak, mbak, mas, dan akhirnya saya—bisa dibayangkan betapa banyaknya. Sebenarnya tidak semua adalah buku, ada juga kertas-kertas dokumen, fotocopy soal, dan sejenisnya—apapun itu, ia sudah tak terpakai.
Ada setitik rasa eman saat hendak membersihkan buku-buku itu, suatu saat akan berguna, pikir saya. Tapi mosok yo, kanggo? Pikir sisi lain saya.
Dari sekian banyak buku yang ada, dominasi utamanya adalah buku pelajaran, mulai dari SD sampai tingkat SMA. Untuk buku jenis ini, ia memang tak banyak berguna, apalagi kan sekarang kurikulumnya sudah ganti, otomatis buku acuan(pelajaran)nya pun baru lagi—membuat buku-buku ini tidak memiliki banyak nilai praktis. Namun tidak semua buku pelajaran ini saya bersihkan, ada beberapa buku yang sengaja saya simpan karena saya mengenal betul buku itu dan mengetahui manfaat praktisnya (bagi saya), terutama jenis buku pelajaran sains yang banyak membantu saya (artinya, buku itu memang benar-benar bagus dari segi penjabaran dan sejenisnya).
Selain buku pelajaran, ada juga buku tulis. Sama seperti buku pelajaran, buku tulis ini juga akumulasi sejak zamannya mbak, mas, sampai punya saya, dan lagi-lagi ada setitik rasa eman ketika hendak membersihkan buku-buku tulis ini. Ini kan bisa jadi kenang-kenangan, pikir saya.
Namun memang, kayaknya buku-buku tulis ini kok tidak banyak punya nilai praktis kecuali untuk sekedar kenangan (ah apalah itu), dan kayaknya juga nggak ada tanda-tanda kalau buku itu akan saya buka lagi suatu saat nanti. Jadinya buku tulis ini saya bersihkan, kecuali beberapa. Beberapa yang tidak saya bersihkan, sama seperti buku pelajaran tadi, karena beberapa buku tulis (terutama buku tulis pas MA) ada yang saya khususkan dari yang lain: ia tak sekedar buku catatan pelajaran, tapi lebih dari itu ia adalah catatan keseharian dan nilai-nilai (value).
Selanjutnya ada juga banyak jenis buku kitab kuning (buku berbahasa arab, biasanya kertasnya kuning, mayoritas isinya tentang keagamaan, digunakan sebagai acuan pembelajaran di pesantren). Untuk buku jenis ini, kami tak merasa perlu untuk membersihkannya—justru menyimpannya. Kenapa? Nah ini yang aneh, jan-jan e kitab kuning itu yo sama saja kayak buku lainnya kok, cuman ia berbahasa arab (itu aja).
Kalau buku pelajaran kan gonta-ganti sesuai kurikulum, kalau kitab kuning itu nggak, salah satu penjelasan kenapa kitab kuning tidak kami bersihkan. Selain itu, kitab kuning itu punya sentuhan dan kesan unik yang membuat kami merasa perlu menyimpannya—walaupun tidak dibaca (mungkin dibaca suatu saat nanti). Kalau buku-buku pelajaran, normalnya seiring bergantinya tahun buku-buku baru yang sejenis akan muncul dan kualitasnya semakin bagus (akses pembeliannya pun mudah), sedangkan kalau kitab kuning—terutama ini jenis kitabnya kan membahas hal-hal dasar—jadinya tidak ada perubahan (kecuali sekedar perbaikan cetakan dan sejenisnya). Toh jumlah kitab kuning ini tidak banyak kok, itu yang menjadi alasan paling masuk akal untuk menyimpannya.
***
Kenapa merasa eman saat hendak membersihkan buku-buku itu (lalu mengelompokkan dan mengikatnya, untuk kemudian dijual)?
Hal yang paling utama adalah saya merasa butuh. Tapi rasa butuh itu hanya sekedar rasa-rasaan aja, bukan butuh beneran. Karena, kalau memang saya butuh beneran, seharusnya saya berinteraksi dengan buku-buku itu (rutin atau setidaknya beberapa kali). Kenyataannya, dari seluruh buku yang hendak dibersihkan, saya tidak pernah berinteraksi lagi pada kira-kira 95% buku itu. Baru ingin berinteraksi ketika buku-buku hendak hilang, lha kan lucu. Itu artinya saya nggak bener-bener butuh.
Hal itu serupa dengan hal yang sering dilakukan oleh para peminjam buku (yang sayangnya malas membacanya—termasuk saya). Ketika seseorang hendak meminjam buku, entah ke teman atau perpustakaan, ia dalam keadaan tertarik, yang kemudian diartikan sebagai rasa butuh-nya kepada buku itu (lalu meminjam). Nah, ke-butuh-an terhadap buku itu dapat dicek benar atau semunya dari interaksi terhadap buku itu setelah dipinjam: buku itu dibaca atau tidak? Karena banyak dari proses peminjaman buku hanya terdiri dari pergi dan kembali (untung masih bisa kembali).
Saya salah satunya, yang pernah beberapa kali meminjam buku (karena merasa butuh), tapi kemudian tidak membacanya. Buku itu hanya saya baca sebentar setelah peminjaman, lalu berhari-hari buku itu terbengkalai begitu saja. Beberapa kali ingin membacanya, tapi kok yo ora kesampaian. Baru ketika batas waktu peminjaman hampir habis—atau bahkan lewat waktunya, saya gelagapan ingin membacanya lagi. Yang demikian itu saya namakan kebutuhan semu.
Dan ternyata yang saya rasakan terhadap buku-buku ini, yang barusan saya bersihkan, adalah kebutuhan semu. Ah sudahlah.
Ini gambar yang saya ambil setelah buku-buku itu selesai dibersihkan:
Ada setitik rasa eman saat hendak membersihkan buku-buku itu, suatu saat akan berguna, pikir saya. Tapi mosok yo, kanggo? Pikir sisi lain saya.
Dari sekian banyak buku yang ada, dominasi utamanya adalah buku pelajaran, mulai dari SD sampai tingkat SMA. Untuk buku jenis ini, ia memang tak banyak berguna, apalagi kan sekarang kurikulumnya sudah ganti, otomatis buku acuan(pelajaran)nya pun baru lagi—membuat buku-buku ini tidak memiliki banyak nilai praktis. Namun tidak semua buku pelajaran ini saya bersihkan, ada beberapa buku yang sengaja saya simpan karena saya mengenal betul buku itu dan mengetahui manfaat praktisnya (bagi saya), terutama jenis buku pelajaran sains yang banyak membantu saya (artinya, buku itu memang benar-benar bagus dari segi penjabaran dan sejenisnya).
Selain buku pelajaran, ada juga buku tulis. Sama seperti buku pelajaran, buku tulis ini juga akumulasi sejak zamannya mbak, mas, sampai punya saya, dan lagi-lagi ada setitik rasa eman ketika hendak membersihkan buku-buku tulis ini. Ini kan bisa jadi kenang-kenangan, pikir saya.
Namun memang, kayaknya buku-buku tulis ini kok tidak banyak punya nilai praktis kecuali untuk sekedar kenangan (ah apalah itu), dan kayaknya juga nggak ada tanda-tanda kalau buku itu akan saya buka lagi suatu saat nanti. Jadinya buku tulis ini saya bersihkan, kecuali beberapa. Beberapa yang tidak saya bersihkan, sama seperti buku pelajaran tadi, karena beberapa buku tulis (terutama buku tulis pas MA) ada yang saya khususkan dari yang lain: ia tak sekedar buku catatan pelajaran, tapi lebih dari itu ia adalah catatan keseharian dan nilai-nilai (value).
Selanjutnya ada juga banyak jenis buku kitab kuning (buku berbahasa arab, biasanya kertasnya kuning, mayoritas isinya tentang keagamaan, digunakan sebagai acuan pembelajaran di pesantren). Untuk buku jenis ini, kami tak merasa perlu untuk membersihkannya—justru menyimpannya. Kenapa? Nah ini yang aneh, jan-jan e kitab kuning itu yo sama saja kayak buku lainnya kok, cuman ia berbahasa arab (itu aja).
Kalau buku pelajaran kan gonta-ganti sesuai kurikulum, kalau kitab kuning itu nggak, salah satu penjelasan kenapa kitab kuning tidak kami bersihkan. Selain itu, kitab kuning itu punya sentuhan dan kesan unik yang membuat kami merasa perlu menyimpannya—walaupun tidak dibaca (mungkin dibaca suatu saat nanti). Kalau buku-buku pelajaran, normalnya seiring bergantinya tahun buku-buku baru yang sejenis akan muncul dan kualitasnya semakin bagus (akses pembeliannya pun mudah), sedangkan kalau kitab kuning—terutama ini jenis kitabnya kan membahas hal-hal dasar—jadinya tidak ada perubahan (kecuali sekedar perbaikan cetakan dan sejenisnya). Toh jumlah kitab kuning ini tidak banyak kok, itu yang menjadi alasan paling masuk akal untuk menyimpannya.
***
Kenapa merasa eman saat hendak membersihkan buku-buku itu (lalu mengelompokkan dan mengikatnya, untuk kemudian dijual)?
Hal yang paling utama adalah saya merasa butuh. Tapi rasa butuh itu hanya sekedar rasa-rasaan aja, bukan butuh beneran. Karena, kalau memang saya butuh beneran, seharusnya saya berinteraksi dengan buku-buku itu (rutin atau setidaknya beberapa kali). Kenyataannya, dari seluruh buku yang hendak dibersihkan, saya tidak pernah berinteraksi lagi pada kira-kira 95% buku itu. Baru ingin berinteraksi ketika buku-buku hendak hilang, lha kan lucu. Itu artinya saya nggak bener-bener butuh.
Hal itu serupa dengan hal yang sering dilakukan oleh para peminjam buku (yang sayangnya malas membacanya—termasuk saya). Ketika seseorang hendak meminjam buku, entah ke teman atau perpustakaan, ia dalam keadaan tertarik, yang kemudian diartikan sebagai rasa butuh-nya kepada buku itu (lalu meminjam). Nah, ke-butuh-an terhadap buku itu dapat dicek benar atau semunya dari interaksi terhadap buku itu setelah dipinjam: buku itu dibaca atau tidak? Karena banyak dari proses peminjaman buku hanya terdiri dari pergi dan kembali (untung masih bisa kembali).
Saya salah satunya, yang pernah beberapa kali meminjam buku (karena merasa butuh), tapi kemudian tidak membacanya. Buku itu hanya saya baca sebentar setelah peminjaman, lalu berhari-hari buku itu terbengkalai begitu saja. Beberapa kali ingin membacanya, tapi kok yo ora kesampaian. Baru ketika batas waktu peminjaman hampir habis—atau bahkan lewat waktunya, saya gelagapan ingin membacanya lagi. Yang demikian itu saya namakan kebutuhan semu.
Dan ternyata yang saya rasakan terhadap buku-buku ini, yang barusan saya bersihkan, adalah kebutuhan semu. Ah sudahlah.
Ini gambar yang saya ambil setelah buku-buku itu selesai dibersihkan:
Apa masih ada dus tak terpakai
BalasHapus