Sabtu, 28 Mei 2016

Majalah Bagus

Pulang dari Jakarta kemarin saya naik kereta Sembrani.
Tak banyak beda dengan kereta-kereta yang sebelumnya pernah saya naiki, kecuali satu hal: majalah. Di depan kursi masing-masing penumpang ada sebuah majalah berjudul Rel: On Train Magazine
Secara penampilan luar, majalah ini terbilang sudah lecek:

Karena gambar pembuka yang cukup menarik, saya lalu melanjutkan membaca (melihat-lihat) isi majalah tersebut:



Isinya sangat menarik.
Terlebih lagi gaya topografi dan fotografi yang begitu profesional (menurut saya).
Melihat majalah itu, rasa-rasanya kok saya pengen buat majalah serupa (kualitasnya) tentang dunia fisika sederhana... Hmm...

Jumat, 27 Mei 2016

Empat Batu Loncatan


Dalam bulan Mei 2016 ini, setidaknya saya mendapatkan empat batu loncatan--biasanya orang-orang menyebutnya sebagai kegagalan.

 

Pertama, Esai Excellent 


Ajang Excellent (Extraordinary Psychology National Moslem Competition) ini diadakan oleh Jurusan Psikologi Undip. Esai yang dilombakan dalam ajang ini bertema "Ramadhan for Positive Soul", dan saya mengirim sebuah esai dengan judul yang sangat panjang: Puasa Ramadhan, Medan Latihan Membentuk Jiwa Positif Untuk Melawan Pragmatisme Dunia.
Dalam ingatan saya, kira-kira saya membuatnya dalam rentang waktu satu bulan. Tentu saja bukan satu bulan full saya nulis esai 6 halaman itu, tetapi satu bulan itu merupakan rentang part-time saya dalam penulisan awal, stuck, pencarian ide, revisi, males-malesan, revisi, sampai saya mengirim naskah esai tersebut.
Setelah pengumuman juara, esai saya tidak termasuk di dalamnya--saya dapat batu loncatan.

Kedua, Esai Festival Sastra UGM


Kompetisi esai ini bertemakan "Budaya, Sastra, Bahasa". Lomba esai ini saya ikuti karena satu hal: pesertanya sedikit--saya mengetahuinya dari teman saya yang sebulan sebelum deadline esai memperlihatkan jumlah peserta lomba. Esai baru diikuti 3 orang. Kesempatan bagus, pikir saya.
Kendati demikian, selang waktu sebulan itu tidak sedikitpun saya gunakan untuk membuat esai. Baru sehari sebelum deadline, saya membuatnya--pantas saja kalah. Esai yang saya buat berjudul "Bias Budaya Bahasa Sastra di Seloroh Zaman Gadget".
Setelah melihat juara kompetisi esai tersebut, ternyata semuanya bukan peserta yang dulu pernah saya lihat (pas masih 3 orang). Itu artinya, sebulan sebelum deadline itu memang belum banyak yang mengirim naskah, baru setelah mendekati deadline banyak peserta yang mengirim naskah esai.
Setelah pengumuman juara, esai saya tidak termasuk di dalamnya--saya dapat batu loncatan lagi.

Ketiga, Cerpen "Kisah-Kisah Kota Lama Semarang"


Kompetisi cerpen ini diselenggarakan oleh Forum Wartawan Balai Kota (Forwakot) Semarang, Hyteria, dan Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L). Sebagaimana judul kompetisinya, kompetisi cerpen ini mengharuskan peserta membuat tema dan latar ceritanya tentang Kawasan Kota Lama Semarang.
Dalam pembuatan cerpen ini, saya membutuhkan waktu selama hampir 2 bulan--tentunya dengan rincian seperti pada pembuatan esai Excellent awal tadi. Khusus untuk cerpen ini, saya juga melakukan survei lokasi ke Kota Lama, agar cerpen saya bisa semakin hidup.
Setelah melewati beberapa proses revisi, akhirnya saya mengirimkan naskah cerpen saya yang berjudul "Rendezvous Ayam Semut Kota Lama" mendekati deadline pengumpulan naskah.
Setelah pengumuman juara, cerpen saya lagi-lagi tidak termasuk di dalamnya--saya dapat batu loncatan yang ketiga. Tentunya bukan hal yang aneh kalau saya kalah dalam ajang cerpen ini, karena dalam tahap akhir pengumpulan naskah, terdapat sebanyak 505 naskah cerpen yang masuk ke panitia, dan banyak di antara 505 cerpen itu yang ditulis oleh cerpenis profesional.

Keempat, ONMIPA-PT Bidang Fisika


Olimpiade Nasional Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Perguruan Tinggi (ONMIPA-PT) merupakan sebuah ajang olimpiade seluruh mahasiswa di Indonesia dalam hal kemampuan teoritis dalam bidang ilmu MIPA.
Kebetulan saya lolos seleksi tingkat Universitas, lalu seleksi wilayah Kopertis 6 (yang ini saya benar-benar nggak nyangka--saya tidak bisa mengerjakan soal tapi malah lolos seleksi). Selanjutnya saya mewakili Kopertis 6 untuk maju di ONMIPA nasional dalam bidang Fisika.
Selama selang pengumuman lolos nasional dan waktu perlombaan saya tidak banyak persiapan--lebih banyak malas-malasan.
So, pantas saja kalau pada akhirnya saya tidak bisa mendapatkan juara dalam ajang ini.
Ketika hendak pengumuman juara ONMIPA, saya sudah memikirkan skenario paling bejo (beruntung) untuk saya. Saya hitung jumlah peserta bidang Fisika dari ITB, UI dan UGM, ternyata total delegasi dari ketiga univ tersebut ada 19 orang. Sementara itu, kebetulan jumlah juaranya ada 20. Kesimpulannya, masih ada kemungkinan kalau saya bisa dapet juara ke 20 (dari 64 orang) hehe..
Tapi... ternyata eh ternyata. Ketika disebutkan juara dari urutan ke 20 sampai 16 (honorable mention) nama saya tidak ada. Ditambah lagi disebutkan pula salah satu juara dari univ selain ITB-UI-UGM, ya sudah berarti saya tidak bisa dapat juara dalam ajang ini--kesimpulan saya sebelum pengumuman juara berakhir, yang ternyata benar. Itulah batu lompatan keempat saya.

>>>

Keempat batu tersebut membutikan kalau kemampuan saya ternyata masih jauh dari standar--padahal saya mengiranya sudah baik. So, baiklah, ternyata masih banyak yang harus diperbaiki, dan sekarang saatnya melompat lebih tinggi dengan empat batu loncatan itu.

Rabu, 18 Mei 2016

Tersesat Di Gunung Jati


Baiklah, ini lanjutan cerita kemarin di Salatiga. Pasti para pembaca sudah menanti cerita ini.

Di hari kedua live in, kelompok di rumah saya bermaksud untuk ikut Pak Marman untuk pergi mengambil rumput di gunung. Maka berangkatlah kami ke gunung, tetapi tertinggal karena saya sholat dan ke kamar mandi dulu. Karena berangkat terlambat itu, saya (juga Alfian dan Mahen) tidak jadi membantu Pak Marman mengambil rumput, tapi cuma jalan naik gunung, Gunung Jati.
Sebelum berjalan jauh, kami mengajak teman-teman rumah sebelah (rumah perempuan) untuk ikut jalan ke gunung. Yang semula bertiga menjadi bersepuluh—termasuk Rosyid, anak kecil rumah sebelah yang sudah sering ke gunung sebagai tour guide dalam perjalanan ini.
Kami naik, perlahan-lahan menapaki jalan setapak, beberapa kali naik tanjakan tajam dan juga jalan licin. Sampai di pertengahan jalan, seleksi alam terjadi, membuat sepuluh orang berubah menjadi lima orang: aku, Alfian, Mahen, Triana, dan Rosyid, sedangkan yang lain lebih memilih pulang.
Dari puncak gunung, empat orang teman yang tinggal di rumah Pak Marman sudah sampai atas, memanggil-manggil untuk ikut naik ke atas gunung.
Untuk lebih jelasnya, ini saya kasih skema gunung yang kami lalui: terdiri dari pemukiman, hutan, kebun dan puncak gunung:

Singkat cerita, kami berlima berjalan naik sampai ke puncak gunung.
Ini pemandangan dari atas gunung: 
 

 

Kalian melihat semacam awan yang turun ke bawah?
Nah, itu adalah hujan.

Demi melihat hujan itu, kita hendak langsung turun ke gunung.. tapi urung karena pemandangan yang indah, belum pada foto-foto, dan yang pasti hujan itu masih cukup jauh—walaupun bergerak perlahan ke arah kita.
Ini tak kasih satu hasil foto:


Setelah berlama-lama foto, akhirnya rintik gerimis turun. Wah! Kita turun.
Karena adanya rintikan hujan, kita berlari cepat turun ke bawah. Aku yang nggak kuat lari cepat tentu saja ketinggalan, dan lebih memilih jalan santai—tak masalah kalau kehujanan.
Enam orang sudah berjalan cepat sampai kebun—tidak jauh lagi dari Dusun, sementara itu empat masih di belakang, dengan urutan Alfian, aku, Mahen-Triana.
Aku dan Alfian berjalan meninggalkan Mahen dan Triana di belakang, berusaha cepat—walau nggak cepat-cepat amat.
Aku di depan Alfian, mengambil inisiatif jalan, berbelok ke kiri.
Berjalan semakin cepat karena hujan semakin lebat.
Eh.. Eh kok nggak sampai-sampai? Bukannya seharusnya sudah dekat?
“Kayaknya kita salah jalan deh, rul.. harusnya ini tadi ke kanan dulu, baru nanti ke kiri.”
“Oh gitu? Yaudah kita balik lagi aja, belok ke kanan dulu.”
Ternyata jalan yang aku ambil tadi salah, hehe. Kita berdua kembali ke tempat yang benar, lalu berbelok ke kanan.
Hujannya sudah benar-benar lebat. Kita berdua lari, Alfian di depan. Aku juga berusaha lari, tapi kondisi perut yang sedang suduken membuatku kesulitan, belum lagi aku kesandung kecil, yang membuatku tertinggal dari Alfian.
Ah, yaudah lah, aku juga udah tau jalannya kok.. jalan biasa aja.
Aku berjalan pelan saja, membiarkan tubuh terbasahi oleh hujan deras—kapan lagi bisa hujan-hujanan?

Sayangnya aku tidak benar-benar tahu jalan pulang.

Setahuku, seharusnya posisiku sudah tidak jauh lagi dari rumah di Dusun, tetapi ini kok malah nggak sampai-sampai ya… yang terlihat hanya pohon-pohon di hutan yang semakin lebat.
Apa aku salah jalan?
Ah enggak ah, bener lewat jalan ini. Aku memantapkan hati, berjalan biasa.
Sampai akhirnya aku benar-benar sadar kalau aku salah jalan. Jalanan hutan sudah tidak jelas lagi, pohon-pohon seakan tidak ada habisnya. Sebelum aku semakin jauh, aku kembali ke posisi sebelumnya, jalan yang tadi aku masih sama Alfian.
Dalam hati sebenarnya aku mulai sedikit takut… Tersesat di hutan? Yang benar saja.
Namun dengan kondisi tersesat ini aku berusaha berpikir sehat..
Ah, ini masih jam 3 an kok, masih lama sampai nanti malam, pasti nanti bisa ketemu jalan pulang. Oh iya, tadi Mahen dan Triana kan juga di belakangku, siapa tahu nanti ketemu.
Karena Mahen dan Triana tidak lewat-lewat juga, aku mengambil inisiatif kembali naik ke arah kebun dan gunung. Posisi di kebun lebih aman karena terbuka dengan langit, tidak seperti pas di hutan tadi—kemana-mana yang ada pohon tinggi, di sini kondisi mentalku lebih baik.
Aku mencoba melongok, mencari-cari warga yang sedang di kebun, mereka bisa menunjukkan jalan. Tapi percuma, karena sudah tidak ada orang di kebun. Tidak ada pula tanda-tanda Mahen dan Triana yang menurut perhitunganku masih turun dari gunung—dan terlihat dari kebun ini.
Aku memanggil Mahen satu kali.
Sayangnya tak ada jawaban, itu berarti Mahen dan Triana sudah turun dan sampai ke pemukiman saat aku tadi salah jalan sendirian.
Astaghfirullahal adzim...
Aku mulai panik. Bagaimana ini?
Sempat terpikir pula di kepala ini, masak aku nggak bisa keluar dari hutan ini? Aku segera membuang pikiran-pikiran buruk, tiada guna memikirkan kemungkinan buruk untuk saat ini.
Aku termenung di hujan, berdoa dalam hati semoga segera bisa pulang. Mungkin saja ada warga yang lewat, atau mungkin teman yang sudah sampai di rumah sadar kalau aku tersesat dan menyusulku ke sini.
A'udzu bikalimatillahit tammati min syarri ma khalaq
A'udzu bikalimatillahit tammati min syarri ma khalaq
A'udzu bikalimatillahit tammati min syarri ma khalaq
Aku mengucapnya berulang kali, berdoa. Ibuku pernah berpesan untuk membca doa tersebut ketika saat-saat genting. Bismillahirahmanirrahim.. ya allah tolong aku, kondisi yang semakin tegang ini membuatku cukup kacau, untuk kemudian mengucap doa apapun yang terpintas di kepalaku.
Baiklah, aku memutuskan turun kembali, melalui hutan untuk menuju rumah.
Lamat-lamat aku berjalan sambil berdoa, sampai akhirnya sampai di batas jalan benar yang aku ingat. Berpikir dengan segala kemungkinan, ini ke kanan atau ke kiri?
Aku berusaha berpikir waras, mengamati kedua jalan untuk mencari jalan yang lebih lebar—karena yang lebih lebar berarti lebih sering dilewati. Sayangnya gagal, kedua jalan itu tidak jauh beda.
Pakai apa lagi? Mata angin?
Aku mengingat-ingat arah mata angin ke arah pemukiman. Lalu memikirkan cara mengetahui arah mata angin tersebut. Dengan lumut? Aku ingat cerita temanku pecinta alam yang menggunakan lumut untuk mengetahui arah mata angin.. Kalau tidak salah lumut akan tumbuh menghadap ke Barat. Tapi.. Akh!!… Aku bingung.

“Irul….!!!”

Aku menoleh karena teriakan itu, mulai sumringah.

“Irul….!!!”

Aku berdiri, lalu menjawab keras.. “Wooi… Aku di sini..”
Aku lalu berjalan berbelok ke kiri, menghampiri Alfian dan Mahen yang hujan-hujanan mencariku. Alhamdulillah…
Singkat cerita aku sudah dapat bantuan dan dapat kembali ke rumah dengan mudah.
Asal kalian tahu saja, jarak antara tempatku barusan (jalan benar yang aku tahu) dengan rumah itu sama sekali tidak jauh, sekitar 500 m. Salahnya, tadi aku mengambil jalan belok ke kanan, sementara yang benar adalah ke kiri. Akhirnya aku bisa dengan mudah sampai ke rumah.
Sampai di dusun, beberapa teman berseru… “Irul ketemu.”
Alhamdulillah, aku tersenyum…

>>> Aku menghitung-hitung berapa lama waktu aku tersesat. Perjalanan dari rumah ke gunung sekitar 30 menit, foto-foto di puncak gunung hampir 20 menit, pulang ke rumah lagi 30 menit, ditambah waktu tersesat. Kami berangkat pukul setengah tiga, dan aku sampai di rumah pukul empat lebih sedikit. Artinya, aku tersesat sekitar 15 menitan… bukan waktu yang lama, tapi itu lho sensasinya… tersesat di hutan? Ah...

Pelajarannya:
- Kalau nggak tahu jalan jangan pura-pura tahu
- Kalau nggak tahu jalan, ikut temennya yang udah tau jalan

*oh iya, satu catatan: jangan dikira Gunung Jati ini setinggi gunung Merbabu dll, kalau kalian melihatnya langsung, sebenarnya ini lebih patut disebut bukit

Senin, 16 Mei 2016

Fisika Peduli: Jumat Sabtu Minggu Tidak Bisa Dihubungi

Ada pengalaman menarik selama tiga hari Jumat Sabtu Minggu (13 – 15 Mei 2016) kemarin. Himpunan Mahasiswa Fisika mengadakan acara bertajuk “Fisika Peduli” yang merupakan serangkaian kegiatan pengabdian diri kepada masyarakat. Dab kebetulan, saya termasuk dalam panitianya.
Kegiatan tersebut dilakukan di Dusun Randusari Desa Plumutan Kecamatan Bancak Kota Salatiga, sebuah dusun terpencil yang bisa jadi terisolasi dari dunia luar karena posisinya yang berada di tengah-tengah hutan dengan akses jalan yang rusak parah, naik turun tidak karuan sejauh +/- 4 km dari keramaian terdekat.
Untuk lebih membuktikan ke-terpencil-annya, ketahuilah bahwa di tempat ini sinyal telepon nyaris mustahil untuk didapatkan—satu-satunya provider telepon yang (cukup) lancar sinyalnya di desa ini adalah Telkomsel, sedangkan yang lain kembang kempis untuk ada. Jangan tanya soal sinyal internet.
Karena tidak ada sinyal baik telepon (apalagi internet), maka selama tiga hari kemarin saya tidak bisa dihubungi—tidak dapat menjawab sms, Line, dan facebook.
Kegiatan Fisika Peduli ini terdiri dari beberapa konsep acara, yaitu live in, permainan dan edukasi untuk anak, dan penyuluhan untuk warga.
Konsep live ini yaitu para peserta (setiap 6/7 orang) tinggal di rumah warga, untuk mengikuti setiap kegiatan yang dilakukan warga tersebut, entah mencari rumput, pergi ke sawah, dan lain-lain. Dalam hal ini saya tinggal di rumah Pak Marman dan Bu Amini.
Permainan dan edukasi anak berupa pemutaran video singkat tentang pendidikan di daerah terpencil untuk anak-anak, harapannya dengan video ini anak-anak bisa lebih semangat untuk belajar. Untuk permainannya ada bermacam-macam, sendok-kelereng, rantai sarung, joget balon, dan lainnya.
Adapun untuk penyuluhan, dalam kegiatan ini diisi oleh Bapak Sutaryo, ahli biogas dari Fakultas Pertanian dan Peternakan Undip. Pemilihan tema biogas ini berkaitan erat dengan keinginan warga Randusari untuk mengetahui proses pembuatan biogas, mengingat potensi berupa kotoran hewan ternak yang sangat tinggi.
Sebenarnya, dalam kegiatan ini juga ada acara hiburan, berupa rebana warga, nonton video, dan akustikan peserta. Namun, ada kabar duka di Dusun Randusari, salah satu warganya meninggal pada malam hari pertama kita di Randusari. Karena kondisi tersebut, seluruh acara hiburan dibatalkan dan kami semua ikut dalam seluruh prosesi mulai dari takziah, sholat jenazah, pemakaman, dan juga tahlilan di malam harinya.
Ada banyak cerita menarik di kegiatan Fisika Peduli ini, yang sayangnya begitu banyak untuk dituliskan semuanya di sini. Ini salah satunya, Tersesat di Gunung Jati.

Selasa, 10 Mei 2016

Berdoa Menurut Agama dan Kepercayaan Masing-Masing


Dalam (hampir) semua kegiatan yang kita lakukan sehari-hari, seringkali kita mengawalinya dengan doa bersama. Untuk itu, setiap kali hendak memulai kegiatan, ketua kegiatan memimpin prosesi doa bersama dengan berucap, "Sebelum kita mulai kegiatan pada hari ini, mari terlebih dahulu kita berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Berdoa mulai..." selang waktu tidak ada satu menit.. "berdoa selesai."
Pertanyaannya: doa apa yang orang-orang ucapkan dalam kesempatan singkat itu?
Saya pribadi, dulu memanfaatkan kesempatan itu dengan doa singkat, semoga kegiatan kali ini berkah. Pernah juga beberapa kali membaca doa serupa dengan ruang lingkup yang lebih luas, rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina adzabannar. Karena doa yang singkat itu, saya kerap selesai berdoa lebih dahulu daripada batas waktu singkat yang diberikan.
Lalu seiring berjalannya waktu, mayoritas kesempatan doa itu saya gunakan membaca surat al fatihah. Ternyata waktunya pas! Hehe*

Cuma anekdot saja, yang terpenting sih bukan pas/tidaknya timing doa, tetapi lebih pada keseriusan dan kekhusyu'an doa.
Al-Fatihah...

Minggu, 01 Mei 2016

Mencuci Baju Bersama Iron Man


Apa yang harus diperhatikan saat mencuci baju?
Salah satunya adalah kotoran yang menempel di baju. Untuk itu, kita setidaknya harus menggunakan sabun cuci dan menguceknya agar kotoran itu bisa hilang.
Namun kenyataannya, pada kebanyakan baju kotor di dunia ini sebenarnya tidak terdapat banyak kotoran. Yang ada hanya bau tak sedap yang biasanya disebabkan oleh keringat dan lain-lain.
Oleh sebab itu, dalam mencuci baju tidak penting-penting amat untuk memberi sabun cuci dan mengucek baju lama-lama. Yang terpenting, proses mencuci ini dapat menghilangkan bau tak sedap yang ada. Sehingga dihasilkan baju yang wanginya semerbak. Bukankah kita sangat senang dengan bau wangi pada pakaian?
Lalu, bagaimana caranya?
Tentu ada banyak cara, tapi saran saya, mencucilah bersama Iron Man
Iya, Iron Man.. Kalian kenal Iron Man, bukan? Nama aslinya Robert Downey Jr. Mencucilah bersamanya.

*tidak berlaku untuk pakaian yang benar-benar kotor.