Jumat, 15 Juli 2016

Bahkan Sherlock Holmes Tak Mampu Selesaikan Kasus Kopi Sianida

Sherlock Holmes bbc via http://wall.alphacoders.com
Saya benar-benar kaget ketika melihat liputan kasus kopi sianida kembali muncul di tivi. Untuk ukuran kasus pidana orang tidak terkenal macam Jessica dan Mirna, saya tak habis pikir kenapa kasus ini diberitakan besar-besaran di media dan belum selesai sampai saat ini juga.

“Kalau pelaku pembunuhannya orang miskin pasti nggak sampe selama ini pengusutan kasusnya.” Penjaga warteg ngomong ke saya yang sedang asyik makan.

“Iya, Bang, saya mikirnya juga gitu.”

“Terus, ini kan kasusnya racun tho mas... polisi juga udah menyelidiki, tapi kok pas persidangan selalu saja dibilang kurang bukti? Atau yang ini tadi, pengacaranya bilang hasil penyelidikan belum bisa memastikan bahwa Mbak Jesica adalah pelakunya… Jan-jan e ini itu polisinya yang nggak becus menyelidiki apa memang pengacaranya yang hebat berkelit sih mas?”

Sebenarnya saya hendak mengutuk penjaga warung ini, yang nggak kasihan sama saya yang lagi fokus makan. Tapi demi mendengar pertanyaan (dan pernyataan) terakhirnya, saya tergelitik dan tertarik menjawab.

“Kayaknya dua-duanya benar, Bang, polisinya nggak becus menyelidiki sama pengacaranya emang hebat berkelit.” Saya terkekeh menjawabnya, lalu masuk ke dalam pemikiran yang lebih dalam.

Awalnya saya berpikir kasus kopi sianida ini wagu. Bukan, bukan kopi sianida atau tokohnya (Jesica-Mirna) yang membuat wagu, tapi media. Kelakuan media yang memberitakan secara masif timeline kasus peracunan dengan tokoh rakyat biasa yang nggak ngefek apa-apa ini sudah terlalu wagu.

Bayangkan saja, sejak awal Januari sampai Juli ini pastinya sudah ada ribuan liputan dan berita yang terus-menerus membombardir masyarakat, kayak nggak ada hal lain yang perlu diberitakan, kayak nggak ada hal lain yang perlu ditayangkan di tivi.

Tapi setelah saya pikir-pikir, media ternyata benar, memang nggak ada hal lain yang perlu diberitakan, dan nggak ada hal lain yang perlu ditayangkan di tipi. Hal ini baru saya sadari setelah melihat tulisan Mbak Kalis Mardiasih tentang Dangdut Academy, dan saya menyadari alasan paling logis kenapa media terus-terusan memberitakan kasus Kopi Sianida ini, masyarakat mencintai kasus ini.

Penjelasan Mbak Kalis mengenai kesuksesan Dangdut Academy simpel, ketika masyarakat menengah ke bawah sudah jenuh dengan jalinan skenario kehidupan Tukang Bubur Naik Haji (Kemudian Mati dan Nggak Balik-Balik Lagi), Indosiar datang menawarkan konsep acara musik yang menarik.

Senada dengan penjelasan Mbak Kalis, saya perlu menambahi bahwa kasus pembunuhan Kopi Sianida ini pun demikian, datang menawarkan hiburan kasus yang menarik: pembuhunan kelas premium, terencana matang, dan memakai racun sianida (seperti di film-film).

Dalam hemat saya, masyarakat belum pernah disuguhi kasus semenarik ini, sebuah kasus yang benar-benar sempurna jika dimainkan dalam film aksi, pembunuhan dan detektif-detektifan. Saya lalu terpikirkan dengan detektif idola saya, yang selalu dapat menyelesaikan kasus rumit apapun dengan sangat cepat, ialah Mas Sherlock Holmes.

Saya berandai-andai jika Mas Sherlock itu nyata dan dia orang Indonesia, lalu membantu pihak kepolisian memecahkan kasus ini—yang nggak selesai-selesai. Saya membayangkan wajahnya yang seksi dan sok ini mulai melihat TKP, untuk kemudian mengambil deduksi-deduksi penjelasan masalah.

“Robekan kecil di sofa menunjukkan cara duduk Mbak Jesica yang begini, goresan di meja menunjukkan salah satu kopi memiliki berat lebih besar, jangka waktu pelayan buat kopi itu segini yang memungkinkan perubahan kondisi secara wajar di sini, ada sedikit ceceran sianida di kursi ini yang dapat dikenali dengan perubahan warna anu…..” Mas Sherlock menjelaskan deduksinya.

Dengan kelihaian Mas Sherlock dalam melihat detail kecil dan menyimpulkan sesuatu, saya yakin kasus ini akan cepat terselesaikan, dan ulasan berita yang tersaji semakin menarik saja, penyelesaian paripurna untuk sebuah kasus pembunuhan terencana. Belum lagi wajah Mas Sherlock yang akan sering nongol di berita, dan membantu polisi dalam menyelesaikan setiap kasus yang ada, mengisi kekosongan figur detektif di dalam negeri.

Anda pikir hal ini tidak mungkin terjadi? Detektif seperti itu tidak ada? Seharusnya anda yakin, karena Pak De Arthur Conan Doyle (pengarang Sherlock Holmes) nyatanya terinspirasi dari sosok nyata dr. Joseph Bell, dokter dan pengajar di University Edinburgh yang dapat mengambil kesimpulan hanya dengan sedikit observasi. Ia bahkan dapat mengetahui keluhan pasien saat mereka baru memasuki ruangan prakteknya dan belum mengeluarkan satu patah kata pun. Edann...

Tapi setelah dipikir lebih jauh, kehadiran Mas Sherlock dalam pengusutan kasus Kopi Sianida ini nggak akan banyak efeknya. Saya yakin. Kalau nggak percaya, coba perhatikan pola setiap kasus yang sudah pernah diselesaikan Mas Sherlock baik di novel, film, ataupun serial tv. Ia hanya menyelesaikan kasus itu untuk kesenangan pribadi, tak peduli mana yang benar dan salah, tak peduli pelakunya akan diadili atau tidak.

Urusan membawa tersangka ke meja hijau dan memenjarakannya, ia tak pernah ikut-ikutan, hal itu diserahkannya sepenuhnya pada kepolisian. Di sinilah kenapa keberadaannya dalam pengusutan kopi sianida nggak banyak efeknya.

Yang membuat kasus kopi sianida ini jadi lama adalah proses pengadilannya, bukan pada pengusutan kasusnya. Dan karena Mas Sherlock nggak tau apa-apa terkait proses pengadilan, keberadaannya jadi sia-sia. Salah-salah kalau dia ikut proses pengadilan dan melakukan hal keliru, dia malah bisa dilaporkan dan dipenjara.

Kasihan sekali Mas Sherlock ini...

Maka dari itu, bahkan Mas Sherlock pun tidak akan mampu menyelesaikan kasus kopi sianida ini. Lalu siapa yang bisa menghentikannya?

Hanya waktu yang bisa menjawabnya. 
***
Saya tulis di Qureta dan Kompasiana

Senin, 11 Juli 2016

Curhatan Pengguna Toilet Umum

toilet via viva.co.id
Adalah sebuah kewajaran atau bahkan keharusan, jika seorang manusia perlu menuntaskan kebutuhan sistem ekskresinya. Juga merupakan kewajaran, jika seorang manusia memanfaatkan apa yang ia miliki untuk mendapat suatu keuntungan.
Kombinasi dari dua kewajaran itu menghasilkan sebuah ide produk jasa yang cukup menggiurkan keuntungannya, produk jasa yang umumnya menjamur di tempat-tempat umum dan pariwisata. Ia adalah bisnis toilet umum.
Tidak ada yang salah memang, jika seseorang memanfaatkan kebutuhan manusia akan sistem eksresi untuk meraup keuntungan. Namun masalahnya, bisnis toilet umum ini seringkali menyakitkan bagi para konsumen.
Katakanlah Joko yang sedang berada di tempat ziarah kebelet pipis, benar-benar kebelet. Mencari toilet kesana-kemari, untuk kemudian menemukan sebuah tulisan besar di hadapannya, “TOILET”. Bahagia sekali ia setelah menemukan pertolongan itu, segera masuk ke dalam untuk menuntaskan kebutuhannya, dan kemudian membaca serangkaian tulisan di tembok kamar mandinya:
Wudhu Rp 1.000
Kencing, Berak Rp 2.000
Mandi Rp 3.000
TIDAK BAYAR BERARTI HUTANG
Aih, malang sekali Joko ini. Setelah gembira melihat sebuah pertolongan, hatinya ganti mangkel, merasa dibohongi. Karena Joko tinggal di desa, tentu saja ia tahu kalau uang 2.000 adalah nominal yang cukup besar, uang itu cukup untuk mendapatkan sebungkus nasi dan satu buah mbakwan. Namun kali ini ia harus merelakannya untuk sekedar pipis, curr…..
Pengennya Joko sih tidak usah bayar, langsung kabur begitu keluar dari kamar mandi. Tapi kalimat terakhir dari tulisan di kamar mandi menghadangnya: TIDAK BAYAR BERARTI HUTANG. “Aduh, bagaimana ini?” Joko bingung. Mau tidak mau ia harus membayar.
Pada dasarnya Joko fine-fine saja untuk membayar 2000 ke penjaga toilet, tapi sistem yang dipakai membuat hati Joko benar-benar mangkel bin jengkel. Dari luar terlihat ingin memberi pertolongan, tapi ketika sudah masuk ke dalam, ia menusuk dari belakang.
Joko bilang kepada saya, “Harusnya penjaga toilet itu langsung menulis biayanya di tulisan depan, ‘TOILET: wudhu 1000, kencing 2000, mandi 3000’, biar jelas dan tidak terjadi salah paham. Bukannya memunculkan kesan gratis di depan, dan di dalam baru dikasih tau kalau bayar. Setidaknya dari luar saya kan bisa menyiapkan uang untuk membayar.”
Dari kisah Si Joko, kita beralih ke kisah Bambang. Kasusnya agak berbeda dengan Joko, karena kali ini Bambang sedang berada di sebuah rumah makan. Walaupun kejadiaannya ya.. tidak jauh berbeda, Bambang sama-sama merasa dibohongi dengan tulisan TOILET di depan dan rincian biayanya di dalam kamar mandi.
Setelah menuntaskan kebutuhannya Bambang menghampiri ibu tua yang menjaga loket pembayaran, dan memberanikan diri untuk bertanya, “Ini bayar, Bu?”
Si Ibu tua dengan sengak menjawab, “Ya mbayar lah! Air ini airnya siapa? Listriknya punya siapa? Tempatnya ini juga punyanya siapa?!”
Belum selesai Ibu tua itu ngoceh, Bambang sudah kabur terlebih dahulu, kembali menghampiri makanan ala masakan padang yang tadi sudah ia pesan. Ia bernapas lega, karena Ibu tua itu tidak mengejarnya karena belum bayar biaya pipis.
“Saya kira tidak usah membayar. Jadi toilet itu jadi semacam fasilitas untuk orang yang makan di rumah makan itu, tapi ternyata harus bayar. Lah, karena uang saya pas hanya untuk makan saja, dan tidak cukup untuk bayar pipis, saya langsung kabur... wushh, untung penjaganya tidak ngejar saya.” Bambang bercerita pada saya.
Walaupun pada dasarnya keberadaan toilet itu sangat membantu, namun kalau sistemnya seperti itu yang terjadi bukanlah saling menguntungkan antara produsen dan konsumen, tapi si produsen menjebak konsumen. Minimal dibuat seperti usulnya Joko lah, dari depan langsung dikasih tahu kalau harus membayar. Agar konsumen tidak merasa dibohongi dan antara produsen-konsumen terjadi transaksi yang saling menguntungkan.

*catatan satu tahun lalu

Sabtu, 02 Juli 2016

Sejarah dan Makna Halal Bi Halal

saling memaafkan via theindianrevertedmuslimah.wordpress.com
Tidak terasa bulan Ramadhan sudah hampir selesai, dan orang-orang pun mulai ramai mempersiapkan diri untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri. Masyarakat Indonesia memiliki tradisi dan budaya yang menarik dalam perayaan Idul Fitri ini, salah satunya yaitu halal bi halal.
Halal bi halal ini sudah lazim dilakukan baik di lingkungan desa, kantor ataupun instansi resmi pemerintah. Kegiatan ini biasanya diadakan selang beberapa hari setelah Idul Fitri, berupa kumpul bersama untuk bersilaturrahmi dan saling bermaaf-maafan satu sama lain.
Kendati halal bi halal sudah lazim dilakukan, banyak dari kita yang belum mengetahui secara pasti makna dan sejarah dari halal bi halal itu sendiri.

Sejarah Istilah “Halal Bi Halal”


Jika kita perhatikan, istilah “Halal Bi Halal” merupakan sebuah frase/kalimat yang mengandung kata-kata dalam Bahasa Arab, yaitu halal dan bi. Namun demikian, nyatanya frase halal bi halal tidak akan anda termukan dalam kamus bahasa Arab baik klasik atau modern, tidak pula anda temukan dalam percakapan sehari-hari bangsa Arab, karena memang istilah halal bi halal ini merupakan sebuah istilah unik made in Indonesia.
Sebagaimana dituturkan oleh KH Fuad Hasyim (alm) dari Buntet Cirebon, penggagas istilah halal bi halal ini adalah KH Abdul Wahab Hasbullah, seorang ulama besar Indonesia yang karismatik dan berpandangan modern, hidup pada masa penjajahan dan masa-masa awal Negara Indonesia.
Setelah Negara Indonesia merdeka pada tahun 1945, Indonesia menghadapi babak baru dalam menghadapi masalah pasca kemerdekaan. Pada tahun 1948 Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa, di mana para elit politik saling bertengkar, sementara pemberontakan mulai terjadi di mana-mana.
Pada pertengahan bulan Ramadhan tahun 1948, Presiden Soekarno memanggil KH Wahab Hasbullah ke istana negara. Beliau dimintai saran agar Bung Karno dapat menyelesaikan situasi pelik dari politik di Indonesia saat itu. Kiai Wahab mengusulkan agar Bung Karno mengadakan acara silaturrahmi antar elit politik, karena sebentar lagi adalah hari raya Idul Fitri di mana umat islam disunnahkan untuk bersilaturrahmi.
“Silaturrahmi kan sudah biasa, saya ingin (istilah) yang lain.” Jawab Bung Karno.
Kiai Wahab lalu menjawab, “Itu gampang. Begini, para elit politik tidak mau bersatu itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa, dan dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah 'halal bi halal'.”
Saran Kiai Wahab tersebut kemudian diamini oleh Bung Karno, sehingga pada Hari Raya Idul Fitri saat itu beliau mengundang semua tokoh elit politik untuk datang ke istana menghadiri acara silaturrahmi bertajuk halal bi halal. Dari situ kemudian para elit politik dapat kembali berkumpul dan duduk dalam satu meja untuk kembali menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.
Sejak saat itu, instansi pemerintah secara khusus digerakkan oleh Bung Karno untuk mengadakan acara silaturrrahmi bertajuk halal bi halal yang diadakan jelang beberapa waktu setelah Idul Fitri. Halal bi halal tersebut lalu juga diikuti oleh masyarakat luas, di mana Bung Karno menggerakkan acara itu dari atas (instansi pemerintah), sementara Kiai Wahab bergerak dari bawah—masyarakat luas terutama muslim di Jawa.
Dari situ, jadilah halal bi halal sebagai sebuah kegiatan rutin masyarakat Indonesia setiap hari raya Idul Fitri seperti sekarang.

Makna Halal Bi Halal


Istilah halal bi halal yang dicetuskan oleh Kiai Wahab ini didasarkan pada dua analisis. Analisis pertama, yaitu thalabu halâl bi tharîqin halâl yang artinya mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Sementara analisis kedua yaitu halâl "yujza'u" bi halâl yang artinya pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.
Dua analisis itulah yang sekiranya tepat untuk menjabarkan makna dari halal bi halal. Adapun secara umumnya, halal bi halal dapat diartikan menjadi saling memaafkan.
Namun lebih dari itu, halal bi halal bukan saja menuntut seseorang agar memaafkan orang lain, tetapi juga agar berbuat baik terhadap siapapun. Hal tersebut juga berarti bahwa hakikat yang dituju oleh acara halal bi halal tidak dibatasi waktunya seusai hari raya Idul Fitri, tetapi setiap saat serta menyangkut segala aktivitas manusia.

Referensi dan saran bacaan lebih lanjut:

Tentang Ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri Yang Benar

Tidak terasa bulan Ramadhan sudah hampir selesai, dan orang-orang pun mulai ramai mempersiapkan diri untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri. 
Seiring hendak datangnya Idul Fitri ini, saya menerima beberapa broadcast dan melihat beberapa tulisan di forum yang cukup menggelitik, tentang Ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri Yang Benar.. Garis umum pembahasannya yaitu bahwa ucapan selamat idul yang benar adalah “taqabbalallhu minna waminkum”, sementara “minal aidin wal faizin” & mohon maaf lahir dan batin adalah ucapan yang salah kaprah. Salah satunya pembahasannya di forum Kaskus ini.

Sebenarnya hal seperti ini adalah bahasan lama, tapi tiap mau Idul Fitri selalu saja menjadi viral lagi, dan sepertinya banyak orang yang menerimanya begitu saja---membuat saya semakin tergelitik untuk membahasnya.

Di sini saya mau membahas itu, saya usahakan agar bahasannya menyeluruh dan tetap mudah dipahami...

1) Pada dasarnya, ucapan doa itu bebas


Kalo konteks ucapan doa (di luar ibadah mahdhah seperti sholat), tidak ada hadisnya pun dibenarkan. Doa mau ujian doktor, doa mau naik gaji, atau doa mengakhiri masa jomblo, boleh-boleh saja dengan redaksi apapun selama itu doa untuk kebaikan.

Dasarnya ini:
Ucapan selamat atau Tahniah atas datangnya momen tertentu telah menjadi suatu tradisi atau adat yang selalu berbeda-beda di tiap masyarakat. Sementara hukum asal atas suatu adat adalah boleh, selagi tidak ada dalil tertentu yang mengubah dari hukum asli ini. Mayoritas ulama menyatakan, ucapan selamat pada hari raya hukumnya adalah ibahah/boleh (lihat: al-Adab al-Syar'iyah, jilid 3, hal. 219).
Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan, ucapan selamat (tahniah) secara umum diperbolehkan, karena adanya nikmat, atau terhindar dari suatu musibah, dianalogikan dengan validitas sujud syukur dan ta'ziyah (lihat al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, jilid 14, hal 99-100).
Dari sini kita bisa menyimpulkan kalau ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri itu bebas, selama yang diucapkan itu (doa) isinya kebaikan:
- Taqabbalallhu minna wa minkum
- Minal aidin wal faizin
- Mohon maaf lahir dan batin
- Sugeng riyadi, nyuwun pangapunten saking sekatahipun kalepatan
- Selamat ya
- dll

2) Ucapan yang baik itu dicontohkan Rasulullah dan para Sahabat


Lalu, untuk lebih baiknya, ucapan doa yang kita keluarkan tersebut hendaknya dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat. Dalam hal ucapan idul fitri ini, ucapan yang dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah: “taqabbalalllahu minna wa minkum” (Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian).
Ucapan tersebut merupakan kebiasaan di antara beberapa sahabat, di antaranya: Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma.
Maka dari itu, alangkah baiknya jika ucapan selamat yang kita ucapkan itu sebagaimana yang dicontohkan, “taqabbalalllahu minna wa minkum”. Tapi jangan berhenti di situ, kita kembali ke poin pertama tadi, sehingga bukan berarti doa dan ucapan lain yang baik itu tidak diperbolehkan.

3) Minal Aidin Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin


Ucapan itu yang paling sering kita dengar sebagai rakyat Indonesia Raya. Bagaimana sih artinya yang benar?
Minal Aidin Wal Faizin, secara tekstual artinya, “Semoga kita termasuk orang yang kembali dan menuai kemenangan”

Beberapa orang menyangsikan arti kalimat tersebut. Kembali terhadap apa? Menang terhadap apa? Apakah “kembali pada kemaksiatan pascaramadhan, meraih kemenangan atas bulan Ramadhan sehingga kita bisa kembali berbuat keburukan”?

Tentu saja tidak. Anak kecil pun tidak akan mau mengucapkan nya kalau maknanya seperti itu.

Makna popular & lengkap kalimat tersebut adalah “Ja'alanallahu wa iyyakum MINAL 'AIDIN ilal fithrah WAL FAIZIN bil jannah” (Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai orang yang kembali pada fitrah dan menuai kemenangan dengan meraih surga).
Jadi jangan khawatir. Maknanya bukan kembali ke perbuatan maksiat dan menang telah menaklukkan Ramadhan. Adapun yang dimaksud dengan kembali pada fitrah adalah: Islam dan kesucian.

Ini dasarnya:
Apa makna fitrah? Setidaknya ia memiliki dua makna: Islam dan kesucian
Makna pertama diisyaratkan oleh hadits (artinya): "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia (sebagai/seperti) Yahudi, Nasrani, atau Majusi."
Sisi pengambilan kesimpulan hukum atau wajh al-istidlal-nya, Nabi telah menyebutkan agama-agama besar kala itu, namun Nabi tidak menyebutkan Islam. Maka fitrah diartikan sebagai Islam.
Dengan ujaran lain, makna kembali ke fitrah adalah kembali ke Islam, kembali pada ajaran, akhlak, dan keluhuran budaya Islam.
Makna fitrah yang kedua adalah kesucian. Makna ini berdasarkan hadits Nabi (artinya), "Fitrah itu ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, mencabut/menghilangkan bulu ketiak, dan memotong kuku." (HR. Bukhari dan Muslim)
Kelima macam fitrah ini semuanya kembali pada praktik kebersihan dan kesucian. Dapat disimpulkan kemudian bahwa makna fitrah adalah bersih dan suci.
 So, adalah hal yang keliru jika ada orang yang mengatakan bahwa ucapan “Minal Aidin Wal Faizin” adalah hal yang salah kaprah..

Lalu, Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Pertama di sini perlu kita tekankan, bahwa, memang benar Idul Fitri bukan waktu khusus untuk bermaaf-maafan. Namun demikian, tidak salah juga jika kita mohon maaf di waktu Idul Fitri kepada para saudara dan sahabat atas seluruh kesalahan kita kan? Toh, meminta maaf ini juga bisa membantu kita untuk meraih fitrah/kesucian yang kita harapkan setelah menjalani bulan Ramadhan.

“Mohon Maaf Lahir dan Batin” memang sering bersanding dengan “Minal Aidin Wal Faizin”, tapi bukan berarti kedua kalimat tersebut merupakan translate satu sama lain.
Memaknai Minal 'Aidin Wal Faizin' dengan 'Mohon Maaf Lahir Batin', hanya karena biasanya dua kalimat itu beriringan satu sama lain, itu sama saja dengan 'membahasa-Inggriskan' keset di depan pintu rumah makan dengan welcome, dengan alasan tulisan itu biasanya ada di atas keset.

Demikian itu tiga poin penting yang hendak saya sampaikan, semoga bermanfaat.

Lalu, sebagai penutup, bagaimana ucapan selamat idul fitri yang benar? Sekali lagi, ucapannya bebas terserah anda selama itu berisi pesan kebaikan. Dan akan lebih baik lagi jika dalam ucapan itu menyertakan pula ucapan yang dicontohkan Sahabat—tanpa menutup bahwa ucapan lain juga diperbolehkan.

Tapi menurut hemat saya (pribadi), karena di Indonesia sudah lazim menulis “Selamat Hari Raya Idul Firtri, Minal Aidin Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin”, ucapan itu kiranya sudah cukup untuk diucapkan.
Tapi kalau pengen yang lebih bagus lagi boleh-boleh saja. Guru saya di MA dulu malah panjang sekali ucapan Idul Fitrinya (kalau saya tidak salah ingat):
Ja'alanallahu Wa Iyyakum Minal Aidin Wal Faizin Wal Maqbulin, Kullu Amin Wa Antum Bikhoir…. Taqabbalallahu Minna Wa Minkum, Taqabbal Ya Karim..
(Semoga Allah menjadikan kami dan kalian semua termasuk dalam golongan orang yang kembali kepada fitrah dan menuai kemenangan dengan meraih surga serta diterima amal ibadah kita.. Semoga setiap tahun engkau sekalian semua dalam keadaan yang baik... Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian semua, terimalah Ya Allah….)

Amin….

Semoga dengan pembahasan singkat dari saya ini dapat memberi pemahaman lebih utuh mengenai ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri...

Sumber (untuk bacaan lebih lanjut):