Hari-hari
setelah penolakan Undip saya jalani kayak biasanya. Saya sante aja (beneran
sante, gak kayak yang sebelum-sebelumnya), dan yang bener-bener gak bisa sante
itu bapak sama ibu saya.
“Harusnya
dulu kamu tulis Undip di pilihan pertama aja, pasti kamu bakal ketrima, nggak
kayak sekarang ini…” Bapak saya berkhotbah.
“Iya,
wong temen kamu Dulkamit yang nggak pinter aja bisa ketrima kok, gara-gara dia
nulis Undip di pilihan pertama..” Ibu saya menambahi.
“Kamu
kebanyakan gaya sih… Makanya nggak usah gaya-gayaan mau masuk ke ITS, ngelihat
sendiri akibatnya kan.. ITS nggak ketrima, Undip juga nggak ketrima. Temen-temen
kamu udah pada enak tinggal registrasi sama nyari kos, lah kamu masih harus
ikut seleksi lagi..” Bapak menambahi.
Seperti
itulah hari-hari saya dihiasi setelah saya gak ketrima di Undip. Dan saya
menikmati itu, karena bagi saya nasehat bapak-ibu saya terdengar seperti
lantunan musik yang sangat merdu—beneran.
Ketika
mereka berdua udah selesai menasehati, musik indah itu pun berhenti,
berbarengan dengan saya nyopot earphone dari telinga saya. Dan
kalau mereka mulai menasehati lagi, saya pasang earphone di telinga, dan
lantunan musik merdu pun kembali saya dengar. Saya sangat
menikmatinya—menikmati musik yang saya dengar.
*ini cuma hiperbola saya aja--saya nggak punya earphone dan bapak-ibu saya juga nggak kayak gitu
*ini cuma hiperbola saya aja--saya nggak punya earphone dan bapak-ibu saya juga nggak kayak gitu
0 komentar:
Posting Komentar