Senin, 11 Juli 2016

Curhatan Pengguna Toilet Umum

toilet via viva.co.id
Adalah sebuah kewajaran atau bahkan keharusan, jika seorang manusia perlu menuntaskan kebutuhan sistem ekskresinya. Juga merupakan kewajaran, jika seorang manusia memanfaatkan apa yang ia miliki untuk mendapat suatu keuntungan.
Kombinasi dari dua kewajaran itu menghasilkan sebuah ide produk jasa yang cukup menggiurkan keuntungannya, produk jasa yang umumnya menjamur di tempat-tempat umum dan pariwisata. Ia adalah bisnis toilet umum.
Tidak ada yang salah memang, jika seseorang memanfaatkan kebutuhan manusia akan sistem eksresi untuk meraup keuntungan. Namun masalahnya, bisnis toilet umum ini seringkali menyakitkan bagi para konsumen.
Katakanlah Joko yang sedang berada di tempat ziarah kebelet pipis, benar-benar kebelet. Mencari toilet kesana-kemari, untuk kemudian menemukan sebuah tulisan besar di hadapannya, “TOILET”. Bahagia sekali ia setelah menemukan pertolongan itu, segera masuk ke dalam untuk menuntaskan kebutuhannya, dan kemudian membaca serangkaian tulisan di tembok kamar mandinya:
Wudhu Rp 1.000
Kencing, Berak Rp 2.000
Mandi Rp 3.000
TIDAK BAYAR BERARTI HUTANG
Aih, malang sekali Joko ini. Setelah gembira melihat sebuah pertolongan, hatinya ganti mangkel, merasa dibohongi. Karena Joko tinggal di desa, tentu saja ia tahu kalau uang 2.000 adalah nominal yang cukup besar, uang itu cukup untuk mendapatkan sebungkus nasi dan satu buah mbakwan. Namun kali ini ia harus merelakannya untuk sekedar pipis, curr…..
Pengennya Joko sih tidak usah bayar, langsung kabur begitu keluar dari kamar mandi. Tapi kalimat terakhir dari tulisan di kamar mandi menghadangnya: TIDAK BAYAR BERARTI HUTANG. “Aduh, bagaimana ini?” Joko bingung. Mau tidak mau ia harus membayar.
Pada dasarnya Joko fine-fine saja untuk membayar 2000 ke penjaga toilet, tapi sistem yang dipakai membuat hati Joko benar-benar mangkel bin jengkel. Dari luar terlihat ingin memberi pertolongan, tapi ketika sudah masuk ke dalam, ia menusuk dari belakang.
Joko bilang kepada saya, “Harusnya penjaga toilet itu langsung menulis biayanya di tulisan depan, ‘TOILET: wudhu 1000, kencing 2000, mandi 3000’, biar jelas dan tidak terjadi salah paham. Bukannya memunculkan kesan gratis di depan, dan di dalam baru dikasih tau kalau bayar. Setidaknya dari luar saya kan bisa menyiapkan uang untuk membayar.”
Dari kisah Si Joko, kita beralih ke kisah Bambang. Kasusnya agak berbeda dengan Joko, karena kali ini Bambang sedang berada di sebuah rumah makan. Walaupun kejadiaannya ya.. tidak jauh berbeda, Bambang sama-sama merasa dibohongi dengan tulisan TOILET di depan dan rincian biayanya di dalam kamar mandi.
Setelah menuntaskan kebutuhannya Bambang menghampiri ibu tua yang menjaga loket pembayaran, dan memberanikan diri untuk bertanya, “Ini bayar, Bu?”
Si Ibu tua dengan sengak menjawab, “Ya mbayar lah! Air ini airnya siapa? Listriknya punya siapa? Tempatnya ini juga punyanya siapa?!”
Belum selesai Ibu tua itu ngoceh, Bambang sudah kabur terlebih dahulu, kembali menghampiri makanan ala masakan padang yang tadi sudah ia pesan. Ia bernapas lega, karena Ibu tua itu tidak mengejarnya karena belum bayar biaya pipis.
“Saya kira tidak usah membayar. Jadi toilet itu jadi semacam fasilitas untuk orang yang makan di rumah makan itu, tapi ternyata harus bayar. Lah, karena uang saya pas hanya untuk makan saja, dan tidak cukup untuk bayar pipis, saya langsung kabur... wushh, untung penjaganya tidak ngejar saya.” Bambang bercerita pada saya.
Walaupun pada dasarnya keberadaan toilet itu sangat membantu, namun kalau sistemnya seperti itu yang terjadi bukanlah saling menguntungkan antara produsen dan konsumen, tapi si produsen menjebak konsumen. Minimal dibuat seperti usulnya Joko lah, dari depan langsung dikasih tahu kalau harus membayar. Agar konsumen tidak merasa dibohongi dan antara produsen-konsumen terjadi transaksi yang saling menguntungkan.

*catatan satu tahun lalu

0 komentar:

Posting Komentar