Minggu, 24 April 2016

Nila Delapan Titik

Dalam satu kesatuan sistem, kerusakan sedikit berarti kerusakan seluruhnya.
Benarkah demikian?
Dalam beberapa kasus itu benar, tetapi untuk sistem yang sudah punya antisipasi kerusakan, itu tidak benar. Jika sistem sudah punya antisipiasi kerusakan, kerusakan sedikit tidak merusak keseluruhan, ia tetap bisa bekerja hanya saja hasilnya tidak bisa maksimal.
Dari sejumlah 86 tombol keyboard yang terdiri dari 26 abjad, 10 angka, 11 simbol, dan 39 fungsi, kerusakan satu tombol tidak merusak keseluruhan sistem keyboard. Keyboard tetap bisa digunakan dengan baik, hanya saja sinergisitas yang terbangun bisa njomplang. Untung jika tombol rusak itu bisa dimanipulasi untuk digantikan fungsinya melalui tombol lain, bagaimana jika tidak? Jika tidak, benar-benar rusaklah sinergisitas sistem yang ada. Dengan demikian, 85 tombol normal dan 1 tombol rusak akan sama dengan satu set keyboard rusak—tidak berguna.
Itu kalau yang rusak satu, bagaimana jika 8 tombol yang rusak?
Itulah yang sebelumnya saya alami, satu deret tombol keyboard (dengan 8 tombol) tidak berfungsi. Untunglah fungsinya masih bisa dimanipulasi dengan teknik tertentu—dengan mengcopy-paste teks yang dari dokumen lain. Masih bisa bekerja, hanya saja sinergisitas yang ada benar-benar njomplang dan dengan demikian hasilnya tidak maksimal (benar-benar tidak maksimal). Selagi saya mengetik huruf-huruf lain dengan cepat, saya harus mengcopy-paste satu persatu huruf yang rusak, atau cara lain dengan menekan touchpad pada on-screen keyboard. Benar-benar tidak nyaman. Tapi apa mau dikata, keadaannya seperti itu, ya sudah dijalani secara maksmial dulu aja. Sumber daya seadanya yang digunakan secara maksimal itu lebih baik daripada sumber daya besar tapi digunakan sekenanya.

***

Alhamdulillah, sekarang keyboardnya bisa berfungsi normal kembali. Sinergitas bisa terbentuk kembali, sehingga tercapailah hasil maksimal.
Saatnya berkarya kembali.

Sabtu, 23 April 2016

Modul Presentasi


Biasanya di dalam seminar atau workshop, para peserta akan diberi modul berupa hardcopy slide presentasi yang diberikan pembicara. Ini sangat bagus, karena para peserta tidak lagi harus mencatat banyak poin yang disampaikan dalam presetasi.
Namun langkah ini memiliki kekurangan, terutama jika hardcopy slide presentasi itu diberikan sebelum/saat presentasi itu dilakukan, yang akibatnya;

1. Bias dengan Poin-poin Penting


Para peserta tidak mencatat sama sekali poin-poin penting presentasi, karena mengandalkan hardcopy yang diberikan. Setelah presentasi bisa jadi peserta bias dengan poin-poin yang disampaikan, karena ia tidak corat-coret/menandai poin penting selama presentasi.
Akibat buruk ini dapat diminimalisir jika peserta tetap aktif mencatat/corat-coret/menandai poin penting disamping mengandalkan modul yang diberikan.

2. Tidak Ada Kejutan


Karena para peserta sudah mengetahui slide presentasi yang akan dibawakan oleh pembicara, tidak akan ada lagi momen waw selama seminar. Bagaimana tidak, ketika misalnya pembicara hendak menampilkan suatu guyonan di salah satu slide, sementara peserta sudah pada tau.. kan jadi gak lucu.
Atau misalnya ketika pembicara melempar pertanyaan ke peserta, di mana jawabannya ada di slide berikutnya. Ya, gimana ya? Udah pada tau jawabannya.. jadi gak asik kan..

Nah, untuk menghilangkan dua poin kelemahan tesebut, solusinya adalah dengan memberikan hardcopy slide presentasi di akhir acara seminar. Dengan demikian, para peserta akan tetap antusias memperhatikan slide demi slide, aktif mencatat poin penting, dan aktif mengikuti seminar tanpa harus takut tidak bisa menangkap isi full presentasi, karena nantinya di akhir akan tetap diberi hardcopy slide presentasi.

Minggu, 20 Maret 2016

Earth Hour, Lampu, dan Mahasiswa Undip

“Percayalah, perayaan Earth Hour tidak akan bisa menyelamatkan dunia.”
Beberapa hari terakhir kita sering melihat kampanye #EarthHour di berbagai media sosial, mulai dari Facebook, grup Line, dan lain-lain. Earth Hour sendiri merupakan kegiatan global yang dimotori oleh WWF (World Wide Fund for Nature) setiap tahun di bulan Maret untuk meningkatkan kesadaran akan perlunya tindakan serius menghadapi pemanasan global. Kegiatan ini berupa memadamkan lampu yang tidak benar-benar diperlukan selama satu jam.
Earth Hour tahun ini dilakukan pada tanggal 19 Maret pukul 20.30–21.30 di banyak kota dan negara, salah satunya di Indonesia. Di Indonesia sendiri, berbagai kalangan aktif untuk mengkampanyekan kegiatan Earth Hour ini, terutama dari kalangan aktivis pecinta lingkungan, lebih-lebih dari golongan mahasiswa.
Namun sayang, banyak di antara aktivis mahasiswa tersebut gagal paham dengan makna Earth Hour ini, bahwa Earth Hour adalah langkah apik dengan memadamkan lampu selama satu jam yang dapat menghemat energi dan mengurangi dampak pemanasan global, atau singkatnya menyelamatkan dunia. Memang benar dalam kegiatan Earth Hour tersebut ada sejumlah energi yang dihemat, tapi sebenarnya jumlahnya sangat tidak signifikan.
Semakin disayangkan jika aktivitas seremonial dalam rangka Earth Hour justru diisi dengan kegiatan yang sebenarnya berkebalikan dengan semangat hemat energi dan mencegah pemanasan global. Salah satu di antaranya adalah aktivitas seremonial memadamkan lampu, untuk kemudian berkumpul di satu tempat dan menyalakan lilin bersama-sama. By the way, lilin pada dasarnya termasuk bahan bakar fosil, yang jika dinyalakan akan mengemisikan gas karbondioksida dan melepaskan panas jauh lebih banyak daripada penggunaan lampu—terutama jenis lampu hemat energi generasi sekarang. Jadi, jika lampu pada sebuah gedung dimatikan dan kita menyalakan lilin bersama-sama, jatuhnya justru terjadi pemborosan energi dan pengemisian karbondioksida.
Pihak WWF dan panitia Earth Hour sendiri sadar akah hal tersebut, dan menegaskan bahwa kegiatan Earth Hour bukan ditujukan sebagai momen untuk menghemat energi dan mencegah pemanasan global, tetapi lebih ditujukan sebagai bentuk reminder, dan sepatutnya tidak diisi dengan kegiatan seremonial yang bertolak belakang dengannya.
Earth Hour ditujukan sebagai pengingat untuk kita agar peduli dan mau menangani masalah pemanasan global yang semakin hari semakin menjadi-jadi. Saat ini suhu Bumi tercatat telah meningkat sebesar satu derajat celsius setelah revolusi industri 100 tahun terakhir, dan semakin meningkat tajam di tahun-tahun ini. Walaupun kenaikan suhu satu derajat tidak terlalu berpengaruh pada tubuh kita, kenaikan kecil itu merupakan gangguan besar bagi alam. Peningkatan satu derajat celsius telah merubah banyak hal dari alam: mulai dari kekeringan, ketersediaan air bersih dan makanan, pola hujan, dan masih banyak lagi.
Maka dari itu setelah momen Earth Hour kemarin sudah sepatutnya kita kembali mengingat dan peduli keadaan alam di sekitar kita, daripada sekedar mematikan lampu selama satu jam dan tidak ada yang esensi yang membekas darinya. Earth Hour hendaknya dijadikan kebiasaan, bukan sekedar perayaan.
Salah satu penyumbang terbesar emisi gas karbondioksida di dunia adalah kendaraan bermotor, dan kita semua tahu bahwa hampir semua mahasiswa Undip setiap harinya menggunakan kendaraan bermotor. Maka dari itu, setelah setelah memadamkan lampu selama satu jam, sekarang saatnya untuk langkah nyata setelah Earth Hour, yang dapat dilakukan dengan mengurangi intensitas penggunaan kendaraan bermotor kita ke kampus. Atau yang lebih baik lagi, bagaimana jika kita berinisiatif untuk mengadakan hari tanpa kendaraan bermotor di Undip, sehingga seluruh mahasiswa Undip berjalan kaki menuju kampus? Menurut hemat saya pribadi, itu sangat sulit dilakukan. Namun jika memang bisa diwujudkan, pasti sangat menarik!

*dimuat di kanal Opini LPM Manunggal Undip